Minggu, 20 Mei 2012

HIDUP MENJAGA MARTABAT

Kehidupan sekarang ini sebenarnya merupakan daur ulang kehidupan masa lalu. Dalam ilmu sejarah, dikatakan bahwa sebenarnya sejarah manusia itu berulang, walaupun di sana-sini ada perubahan baru. Pada zaman sebelum Al Qur’an diturunkan di Mekkah kepada Rasulullah Muhammad SAW, orang-orang Quraisy memiliki kebiasaan berdagang antara Yaman dan Syam yang kota Mekkah dijadikan transitnya. Kehidupan berdagang kala itu bercirikan persaingan antar suku dan khafilah. Dalam kondisi seperti itu, logis kalau banyak orang mencari berbagai macam cara agar keselamatan dalam kehidupan berdagangnya terjaga. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yaitu:



1. Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, 2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. 3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). 4. Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS. Quraisy : 1-4)


Salah satu cara yang mereka tempuh adalah menuju sesembahan berupa berhala yang terbuat dari gundukan pasir atau batu. Mula-mula berhala itu dianggap hanya sekedar sebagai “perantara” permohonan kepada Tuhan, dan lama-kelamaan berubah menjadi benda-benda yang dipertuhankan. Saat itulah pada hakikatnya nalar masyarakat Arab waktu itu telah “mati” dan disebut zaman Jahiliyah atau zaman kebodohan. Dapat dikatakan pula, manusia Arab waktu itu telah jatuh martabatnya di depan berhala mereka. Menghadapi realitas seperti itu, Allah SWT tidak serta merta membiarkan hal ini terjadi terus-menerus. Maka, Allah SWT berkenan melenyapkan kebiasaan masyarakat Arab itu dengan menurunkan ajaran tauhid kepada Allah dan hanya beribadah kepada-Nya. Dengan demikian, derajat manusia kala itu berputar 180˚ yang menjadikan mereka menjadi makhluk ciptaan-Nya yang paling luhur dibanding makhluk yang lain di muka bumi ini.
Di zaman abad ke-21 Masehi ini, tampaknya “berhala-berhala” baru bermunculan di sana-sini. Kalau diamati, contoh berhala-berhala diantaranya yaitu Pertama, paham-paham atau isme-isme yang merupakan ciptaan manusia. Contohnya seperti materialisme (paham yang menekankan keunggulan faktor-faktor material di atas hal-hal yang bersifat spiritual), kapitalisme (paham yang menekankan peranan kapital/modal dalam memproduksi barang atau jasa), dan paham atau isme-isme yang lain.
Kedua, ilmu pengetahuan dan teknologi. Contohnya seperti teori (yang telah terbukti atau hipotesis), rumus (postulat, neraca, dan lain-lain), dan lain sebagainya. Ketiga, aktivitas globalisasi. Perwujudan globalisasi menjurus pada perjuangan kepentingan yang bertopeng humanisme (semacam hak asasi manusia / HAM, kelestarian lingkungan hidup, etika global) dalam tampilan hegemoni ekonomi dan imperialisme terselubung.
Dalam berhala-berhala baru di atas, masalah Tuhan dan agama hanya dianggap sebagai faktor pinggiran, bukan faktor pusat dan faktor penentu. Agama Islam tegas menyatakan keyakinan tauhid adalah faktor penjaga martabat manusia dari godaan dan gangguan dari berhala-berhala.


Oleh : M. Damami
Editor : Syamsi

Sabtu, 19 Mei 2012

MEMBUMIKAN JIWA SYUKUR

Adalah wajar jika manusia menginginkan hidupnya terasa menyenangkan dan kali tentu setuju bila kebahagiaan juga disandingkan dengan kehidupan kita. Kita pun yakin jika ketenteraman merupakan dambaan dalam kehidupan kita semua, itu terbukti kita selalu memohon dan berdo’a kepada Allah SWT, seraya berkata “Robbana Atina Fiddunya Khasanah wa Fil Akhiroti Khasanah Wa Qina ‘adza Bannar” yang artinya (Ya Allah berilah kepada kami kebahagiaan di dunia dan berilah kebahagiaan juga di akhirat dan jauhkanlah dari siksa api neraka).
Kalau kita saksikan kehidupan orang-orang di sekitar kita, tentu banyak menemukan kehidupan manusia yang berbeda. Ada yang hidupnya kacau padahal dia orang yang berada dengan memiliki harta yang melimpah. Disini, bisa kita ambil pelajaran bahwa kekayaan tidak menjadikan kehidupan seseorang itu bahagia, memang tanpa harta kita tidak bisa bersenang-senang, tapi harta dan kekayaan bukan jaminan seseorang hidupnya senang dan bahagia. Di sisi lain, kita menemukan ada kehidupan yang tenang dan tenteram padahal dia miskin bergaji kecil, rumahnya bukan milik pribadi melainkan milik orang lain (kontrakan), tapi dia menemukan kebahagiaan dalam kehidupannya. Ternyata, kunci untuk menemukan kehidupan yang tenteram dan nyaman adalah syukur.
Sangat sederhana dan singkat tapi kalau sudah bertengger di qolbu kita, maka akan  ditemukan ketenangan hidup. Syukur itu berarti mengikat nikmat, jika kita mendapat rizki (uang, jabatan, ilmu, jodoh, kesehatan, dan lain-lain) itu berarti kita telah mengikat nikmat yang ada, sehingga tak berhamburan. Inilah yang disebut barokah, memiliki uang barokah, memiliki jabatan dan ilmu dapat bermanfaat untuk orang lain, memiliki jodoh yang setia, memiliki badan yang sehat karena digunakan belajar, bekerja, dan beribadah. Selain itu, jika kita selalu bersyukur, maka Allah akan menurunkan nikmat yang lebih banyak yang sesuai dalam firman Allah SWT yaitu:



Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".” (QS. Ibrahim : 7)

Agar jiwa syukur selalu hadir di kehidupan kita, maka ada beberapa cara agar jiwa syukur bisa kita raih dan kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari diantaranya, yaitu:
  •  Pertama, Dalam hidup jangan pernah merasa memiliki dan dimiliki, maka yakinlah bahwa semua apa yang ada di muka bumi ini hanyalah milik Allah SWT termasuk jiwa dan raga kita yang kelak akan kembali pada-Nya. Begitu pula dengan harta benda, jabatan, kesehatan, ilmu dan lain-lain itu semua hanya titipan Allah, kita hanya diperintahkan untuk menjaganya dengan baik dan mengembalikannya pada-Nya dengan baik pula. Hal ini sesuai firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 284 yang artinya “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu... 
  • Kedua, ingatlah selalu pesan Rasulullah SAW, “Jika urusan dunia tengoklah bawahmu jika urusan akhirat tengoklah atasmu.” Artinya adalah, kita sebagai manusia yang beriman dengan memiliki kehidupan yang cukup haruslah selalu melihat orang-orang yang kehidupannya berada di bawah kita agar kita bisa selalu bersyukur bahwa semua yang kita miliki adalah nikmat dari Allah SWT. Selain itu, jika kita merasa ibadah kita kurang memuaskan, maka kita harus melihat orang-orang yang selalu beribadah kepada Allah SWT sepanjang hidupnya agar kita bisa memperbaiki ibadah kita untuk ke arah yang lebih baik.

Itulah dua renungan yang perlu kita pasang dalam kehidupan kita, agar hidup yang kita lalui tersa lebih indah, tenteram, dan menyenangkan.

Oleh : M. Khairul Anam,S.Pd.I
Editor : Syamsi 

ORANG BERIMAN MENGAWAL KEKUASAAN ALLAH

Menurut Al Qur’an, kesadaran tentang “kekuasaan” itu tidak dapat dilepaskan dari diri manusia. Dikatakan di dalam Al Qur’an, bahwa sekalipun kedudukan manusia itu ditegaskan sebagai “hamba”, namun manusia dianugerahi peranan sebagai “khalifah” Allah SWT, yaitu sebagai wakil atau pengemban amanah Allah SWT di bumi ini. Sebab, segala isi bumi itu memang disediakan oleh Allah untuk manusia seluruhnya, bukan untuk makhluk yang lain, makhluk jin misalnya. Seperti pada firman Allah SWT yaitu:



Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." ” (QS. Al Baqarah : 30)

Apa hakikat “kekuasaan” yang dianugerahkan Asllah SWT kepada manusia itu? Kekuasaan yang dimiliki manusia adalah kekuasaan yang diwakilkan oleh Allah SWT yang dalam kekuasaan tersebut dipenuhi rasa tanggung jawab yang sangat berat. Perlu ditegaskan disini, “kekuasaan” disini bukan sekedar kekuasaan karena sistem aturan politik, organisasi, dan lain-lain, melainkan juga kekuasaan yang melekat pada setiap individu manusia.
Selain itu betapa pun besar dan kuatnya kekuasaan yang dimiliki, menurut Al Qur’an, tetaplah kekuasaan tersebut titipan Allah SWT. Oleh karena itu, siapa pun orangnya kalau ingin disebut sebagai penguasa dalam arti yang sesungguhnya adalah orang yang benar-benar menyadari bahwa dirinya hanyalah pelaksana kekuasaan Allah SWT di bumi ini dan tidak pernah terbesit sedikit pun di dalam hatinya bahwa dirinya memiliki kekuasaan yang sepenuh-penuhnya, sebebas-bebasnya. Atau dengan kata lain penguasa dalam arti yang sesungguhnya adalah penguasa yang beriman kepada Allah SWT. Sebab, sifat dan kebiasaan orang yang benar-benar beriman (mukmin) adalah senantiasa berkonsultasi dan melaporkan segala tindakan dan perbuatannya kepada Allah SWT misalnya lewat dzikir (mengingat secara fungsional atas kekuasaan Allah dan hasilnya kalau taat kepada-Nya serta akibatnya kali melenceng dari aturan-Nya), doa, dan disiplin shalat dengan khusyu’.

Oleh : M. Damami
Editor : Syamsi

MENJAWAB PERTANYAAN AL QUR’AN

Sudah kita rasakan tahun berubah dari tahun 1432 H menjadi tahun 1433 H dan dari tahun 2011 menjadi tahun 2012. Pergantian tahun dan hari tersebut di atas, menjadi pandangan yang biasa kita rasakan. Anak kecil pun tahu bahkan tanpa memperhatikan serius matahari terbit di timur, naik sampai puncak ketinggian pada siang hari kemudian turun kembali dan tenggelam di barat lalu berganti menjadi petang hari dan seterusnya hingga berganti hari. Karena malam dan siang menjadi pemandangan rutin sehari-hari maka tidak menjadi istimewwa lagi. Tetapi mengapa Al Qur’an berulang-ulang menegaskan bahwa pergantian dan silih bergantinya malam dan siang termasuk dalam firman Allah di bawah ini mengandung pelajaran bagi orang yang mempunyai penglihatan atau daya pandang yang dalam bahasa arab yaitu abshar atau bagi orang yang menginginkannya?



Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” (QS. Al Furqon : 62)

Firman Allah menyebutkan dalam surat Ali Imron ayat 190 yang berarti “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. Selain gelap, pada malam hari udara terasa juga sejuk atau lebih dingin dibandingkan siang hari. Inilah salah satu peristiwa yang pasti terjadi di alam. Malam senantiasa gelap dan siang terang benderang. Pertanyaan yang dapat dimunculkan, mengapa pada malam hari gelap dan pada siang hari terang benderang? Mengapa ada gelap dan ada terang? Pergantian malam dan siang mengisyaratkan adanya paket-paket dari kondisi tidak seimbang di alam semesta. Kehidupan bergantung pada keberadaan paket-paket ini. Sulit dibayangkan bagaimana kehidupan akan berlangsung jika bumi pada posisi menggantikan planet Saturnus atau Neptunus.
Fenomena malam dan siang menuntun pada keterbatasan alam, baik aspek waktu maupun ruang. Keberhinggaan alam semesta dari sisi waktu pada gilirannya menuntut kehadiran Sang Pencipta, Allah SWT. Disamping itu banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung pertanyaan-pertanyaan.
Untuk menjawab pertanyaan Al Qur’an, rasanya belum cukup anak cucu kita nanti hanya mampu baca Al Qur’an dengan baik dan benar, tetapi perlu sejak dini/kecil mereka diberi pemahaman yang lebih terhadap Al Qur’an terutama tantangan atau pertanyaan Al Qur’an kepada manusia agar generasi penerus bangsa kelak akan jauh lebih baik daripada generasi sekarang ini.

Oleh : Achmad Lutfi, M.Pd.
Editor : Syamsi

MENUJU AMPUNAN TUHAN

 
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi. Sesungguhnya akan Berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu ".” (QS.Al Anfaal : 38)

Ayat diatas memberi harapan yang sangat besar bagi kaum muslim akan rahmat Allah SWT, sebab orang-orang kafir saja yang melakukan kekufuran kepada Allah SWT, pendusta kepada para rasul-rasul-Nya, yang menghina ayat-ayat-Nya, yang berpaling dari agama-Nya, mendapatkan jaminan ampunan dari Allah SWT, jika mereka bertaubat dan memeluk agama-Nya. Saat seorang muslim mrmbaca ayat tersebut, ketergantungannya kepada taubat semakin bertambah, pengharapannya kepada Allah SWT semakin meningkat, dan prasangkaannya kepada Allah SWT akan semakin baik. Kondisi yang jelek dan dosa yang banyak tidak melemahkannya untuk bertaubat dan kembali ke jalan-Nya.
Salah satu kebaikan seorang mukmin adalah mengakui dosa-dosanya kepada Allah SWT, dan Allah pun memuji orang-orang yang mengakui kesalahannya. Tengoklah Nabi Musa as tatkala membunuh seseorang maka ia berkata, “Hai Rabb-ku ampunilah aku”, maka Allah mengampuninya. Lihatlah Nabi Adam as ketika melanggar larangan Allah maka ia berkata, “Wahai Tuhan kami, sungguh kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika engkau tidak mengampuni kami, maka kami termasuk orang-orang yang merugi.”, begitu pula Nabi Muhammad SAW dalam doa iftitah membaca, “Allahumma inni dzolamtu nafsi wa’taroftu bidzunubi faghfirli dzunubi jami’a” yang artinya “Ya Allah sungguh aku telah mendzalimi diri kami sendiri dan mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah semua dosaku”.
Jadi hendaklah kita menginsafi dosa dan kesalahan sendiri karena orang yang mengakui kesalahan sangat pantas untuk dikasihani  dan diberi maaf. Betapa terhormatnya Nabi Musa, betapa agungnya Nabi Adam, dan betapa mulianya Rasulullah SAW, tapi mereka berani mengakui kesalahan dihadapan Allah SWT. Lalu, bagaimana dengan kita? Adapun orang-orang yang berhati keras, yang sombong dan congkak, dan yang merasa tidak pernah bersalah, akan jauh dari rahmat Allah SWT dan ampunan-Nya.
Betapa besarnya kesalahan manusia yang ia perbuat, maka masih lebih besar pengampunannya, maka itu janganlah berputus asa dari rahmat Tuhanmu seperti pada firman Allah pada Surat Az Zumar ayat 53 yang artinya yaitu “Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tidakkah firman Allah ini dapat melapangkan hati, menghilangkan keresahan, dan menghapus kegundahan saudara?. Dalam ayat ini Allah melarang kita dari berputus asa  dalam memohon ampun kepada-Nya, Allah mengabarkan pula bahwa Allah akan mengampuni siapa saja yang bertaubat kepadanya, baik dari dosa-dosa kecil maupun dosa-dosa besar.

Oleh : M. Khairul Anam,S.Pd.I
Editor : Syamsi

KARAKTERISTIK ISLAM

           Kita semua mengetahui bahwa Islam memiliki karakteristik tersendiri. Banyak sekali alasan kenapa kita harus memilih agama ini sebagai sumber hidayah atau pedoman hidup. Pertama Islam adalah agama wahyu atau agama samawi. Agama wahyu adalah anugerah dari Sang Maha Kuasa, Allah SWT. Jadi, Islam adalah agama Ilahiyah. Sudah pasti, kebenaran agama wahyu bersifat absolut alias mutlak. Mustahil mengandung suatu kesalah pahaman. Islam adalah nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari ilmu-Nya. Selain itu Islam adalah agama sempurna (kamil) dan lengkap (syamil) seperti pada potongan firman Allah yaitu:

 

“.....Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.....” (QS. Al Maidah : 3)

Sebagai agama sempurna, Islam menjelaskan nilai-nilai aqidah, syariah, ibadah, dan akhlaq. Selain itu, menjelaskan bagaimana kewajibannya kepada Allah Yang Maha Pencipta (hablun minallah) dan bagaimana manusia harus menunaikan hak dan kewajibannya kepada sesama umat manusia (hablun minannas).
Kedua, Islam adalah agama insaniyah. Islam dipersembahkan untuk manusia tanpa batas dan sekat seperti ekonomi, politik, suku, bangsa dan lain-lain. Karena itu sudah pasti Islam termasuk agama yang sangat manusiawi. Agama semua nabi ini mudah dipelajari dan diterima siapa pun. Islam diturunkan demi keselamatan, kemuliaan, kesejahteraan, dan kebahagiaan manusia.
Ketiga, Islam adalah agama alamiyah. Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Kebajikan Islam tidak hanya bermanfaat bagi manusia, namun juga untuk menjaga, membangun, dan melestarikan keseimbangan semesta alam. Berkat Islam, manusia dapat membedakan mana halal dan mana haram, mana hak dan mana kewajiban, mana salah dan mana benar. Berkat Islam juga, manusia meyakini adanya kehidupan kekal setelah kehidupan di dunia dan meyakini kehidupan akhirat lebih utama daripada dunia. Tanpa Islam, manusia bukan siapa-siapa. Tanpa Islam, ada manusia berwatak seperti batu, setan, atau binatang. Tanpa Islam, manusia dengan mudah menghalalkan segala cara dan bahkan membuat agama baru atau merekayasa agama.
Selain itu perlu diingat selain ada agama wahyu, ada agama budaya yaitu agama hasil kreasi atau rekayasa manusia. Sudah pasti kebenaran agama budaya cenderung merusak, seperti merusak sumber daya alam, sumber daya manusia, dan lain-lain. Banyak sekali macam-macam agama budaya seperti animisme, dinamisme, ateisme, agnoteisme, komunisme, liberalisme, materialisme, dan isme-isme yang lain. Faham dan ajaran ini banyak sekali diyakini benar, diperjuangkan, serta dijadikan pedoman hidup oleh penganutnya. Mereka bahkan rela berkorban demi ajaran dan faham yang telah terbukti merusak dan menyesatkan manusia.

Oleh : Drs. Abdul Hakim, M.Pd.I
Editor : Syamsi

KECINTAAN MANUSIA

            Secara kodrat, manusia dilahirkan dengan disertai rasa cinta. Cinta dari Allah sebagai Dzat pencipta dirinya dan cinta dari kedua orang tua sebagai aktor pelakunya. Itulah sebabnya maka wajar jika pada diri manusia muncul aneka rasa cinta. Adapun firman Allah yang menjelaskan rasa cinta yang dimiliki oleh manusia yaitu:


Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran : 14)

Dari firman Allah di atas, bisa diambil jenis-jenis kecintaan manusia diantaranya, yaitu:
1.      Mencintai lain jenis
Berdasarkan sunnatullah, setiap orang yang sudah menginjak usia baligh/remaja umumnya mencintai lain jenisnya. Pria jatuh cinta pada wanita dan wanita jatuh cinta pada pria. Jika ada laki-laki mencintai laki-laki dan perempuan mencintai perempuan mencintai perempuan, itu namanya kelainan. Islam tidak melarang manusia jatuh cinta kepada lain jenisnya. Cinta pada lain jenis yang dianugerahkan oleh Allah dengan bingkai akad nikah, adalah untuk memperoleh ketenangan hidup (sakinah), berhiaskan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah). Di samping untuk kelangsungan hidup dalam mengemban tugas sebagai khalifah.

2.      Mencintai anak
Setelah mendapatkan pasangan hidup, maka kecintaan manusia berikutnya adalah ingin punya anak atau keturunan. Banyak sekali pasangan suami istri yang merasa ada yang kurang dalam kehidupan rumah tangga mereka ketika belum memiliki anak. Itulah sebabnya maka ada yang rela mengeluarkan biaya mahal untuk mendapatkan anak, baik melalui bayi tabung atau cara yang lain. Bahkan ada yang dengan cara mengadopsi bayi atau anak orang.

3.      Mencintai harta
Seiring dengan terpenuhinya pasangan dan keturunan, maka kebutuhan rumah tangga juga kian beragam. Itulah sebabnya manusia membutuhkan harta untuk memenuhi keberlangsungan hidupnya. Apalagi menurut penjelasan Al Qur’an pada Surat Al Kahfi ayat 46 yang menjelaskan bahwa harta dan anak itu merupakan mahkota atau perhiasan dalam kehidupan.

4.      Mencintai kendaraan mewah
Setelah itu, manusia juga membutuhkan kendaraan yang baik. Pada zaman dahulu, manusia banyak membeli kuda pilihan, sekarang manusia banyak membeli sepeda motor bahkan mobil yang berharga miliaran.

5.      Mencintai ternak, sawah, perkebunan, dll
Terakhir yaitu memiliki ternak, sawah, dll yang merupakan harta yang bersifat produktif. Di kota-kota harta itu tergantikan dengan pertokoan, mall, perusahaan, dan lainnya.

Jika kelima kecintaan dan keinginan dunia tersebut dapat diraih manusia, maka bisa dikatakan bahwa dia telah menggapai surga dunia. Namun perlu dicatat, bahwa semua itu hanyalah kesenangan dunia yang sifatnya sementara. Boleh saja mencintai itu semua asal ada batasnya, kemudian mau menyisihkan sebagian rizki untuk kepentingan sosial di lingkungan masyarakat.

Oleh : Drs. H. Syamsun Aly, MA.
Editor : Syamsi

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons