Rabu, 06 Februari 2013

Tentang Tauhid

Oleh : 
Nama    : Munzir Absa 
NRP    : 2412100085 
Lafadz Allah


Tersebutlah seorang syaikh yang menulis sebuah kitab tentang pentingnya tauhid. Ia menjelaskannya kepada muridnya dan terus mengulang-ulang penjelasannya. Suatu hari murid-muridnya meminta agar syaikh tersebut mengganti pembahasannya. Syaikh tersebut mempertimbangkan permintaan murid-muridnya.

Keesokan harinya dia keluar dengan raut wajah sedih, dan ketika murid-muridnya menanyakan perihal apa yangmenyebabkan kesedihannya, ia menjawab “Aku mendengar seorang laki-laki dari kampung tetangga menempati rumah baru, dia takut diganggu jin, maka dia menyembelih seekor ayam jantan di depan pintu rumahnya untuk mendekatkan diri pada jin, aku telah mengirim seseorang untuk mencari kebenaran berita tersebut”. Muridnya tidak bereaksi terhadap berita tersebut, mereka hanya berdoa meminta hidayah bagi orang tersebut, dan mereka hanya terdiam.

Keesokan harinya syaikh itu kembali menemui mereka dan berkata “Kami telah mendapatkan kejelasan peristiwa tersebut, ternyata peristiwanya tidak seperti yang aku dengar, lelaki itu tidak menyembelih ayam untuk jin, tapi yang dia lakukan adalah berzina dengan ibunya”. Spontan mereka gempar dengan kemarahan, “Perbuatannya harus digugat, dia harus dinasihati, dia harus dihukum” dan banyak lagi umpatan mereka.
Kemudian syaikh berkata “Sungguh aneh kalian ini, begitukah reaksi kalian mengingkari orang yang melakukan dosa besar, padahal perbuatannya itu tidak mengeluarkannnya dari Islam, sedangkan kalian tidak mengingkari orang yang terjerumus dalam kemusyrikan, menyembelih untuk selain Allah dan mengalamatkan ibadah selain untuk Allah?”. Murid-muridnya terdiam, kemudian syaikh menunjuk salah seorang dari mereka dan berkata, “Bangun dan ambilkan kitab Tauhid, kita akan membahasnya dari awal”
Mengherankan memang, tapi setidaknya kurang lebih hal semacam itulah yang terjadi disekitar kita. Ummat Islam di sekeliling kita, khususnya Indonesia seperti lebih mementingkan urusan-urusan lain seperti urusan fiqh, tata krama, atau hal lainnya ketimbang urusan tauhid. Sementara Al-Quran dan hadits menyampaikan dengan jelas bahwa perkara tauhid yaitu perkara mengesakan Allah adalah yang paling pertama dan paling mendasar dalam Islam sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.” (Muhammad: 19) atau hadits Rasulullah, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” (Riwayat Bukhori dan Muslim).

Kita saksikan saat ini cukup banyak media yang menjadi perantara untuk belajar agama, tapi seperti melupakan masalah tauhid. Stasiun-stasiun Televisi cukup banyak menayangkan acara-acara Islami seperti ceramah agama dan sebagainya tapi yang dipaparkan tak jauh-jauh dari perihal kesempurnaan ibadah, bagaimana mendapat keuntungan dari ibadah, atau bahkan bagaimana menjaga hubungan rumah tangga yang sakinah. Sedangkan sangat sedikit (atau bisa dikatakan tidak ada) yang membahas permasalahan bagaimana seharusnya seorang muslim beriman kepada Allah maupun makhlukNya yang diwajibkan bagi kita mengimaninya atau perihal tauhid yang lain. Pun begitu dengan media cetak. Begitu banyak buku-buku bertemakan Islam ditulis oleh penulis-penulis muslim Indonesia. Tapi topiknya juga tidak begitu jauh dari perihal ibadah, percintaan yang Islami, dan sebagainya, sementara perihal tauhid sangat sedikit dibahas. Demikian pula beberapa majalah-majalah Islam yang beredar di Indonesia, kurang lebih juga sama. Memang ada yang cukup banyak membahas perihal tauhid, tapi itupun tidak terlalu populer di kalangan pembaca muslim.

Demikian juga dengan kebanyakan pendidikan Islam di Indonesia yang berlangsung saat ini. Banyak sekolah-sekolah memberikan pelajaran Islam kebanyakan berupa tata cara wudhu, shalat, puasa, hafalan Al-Quran, makna ayat Al-Quran dan lainnya. Banyak juga memang pelajaran tentang tauhid, tapi pelajaran tauhid yang diajarkan seperti beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasulNya, hari akhir, dan taqdir tersebut seperti hanya sekedarnya saja. Murid-murid diajari rukun iman, tapi tidak benar-benar dijelaskan bagaimana seharusnya pengimplementasiannya. Sebagaimana yang penulis rasakan sendiri, seperti ada sebuah sugesti bagi pelajar yang belajar pelajaran Islam di banyak sekolah-sekolah bahwa perihal iman ini adalah begitu simpel, hal yang sudah dimiliki seluruh muslim, yaitu hanya perihal kepercayaan, jadi seorang muslim cukup percaya bahwa Allah itu ada, malaikat Allah itu ada, dan sebagainya. Di lain pihak, para pelajar pun tidak terlalu menganggap pelajaran yang berkaitan dengan tauhid. Padahal dari pendidikan dasar atau sekolah tingkat dasarlah harusnya diawali pendidikan tauhid, karena pelajar-pelajar tersebut yang akan menjadi masa depan ummat muslim.

Pada kenyataanya, tauhid bukanlah hal yang begitu mudah dipahami maupun diimplementasikan oleh ummat muslim. Jika memang tauhid adalah hal yang begitu mudah bagi ummat, tentu tidak akan kita temukan banyak aliran-aliran sesat yang tidak hanya melenceng dalam fiqh ibadah, tapi juga dalam Ketuhanan. Begitu pula mestinya tidak kita temukan upacara-upacara yang melenceng karena menduakan Allah dalam pelaksanaannya seperti shalat di kuburan, berdoa dengan perantara orang meninggal, menyajikan sesajen, juga masih banyak lagi hal-hal melenceng lain dari prinsip ketauhidan yang kita temui di sekitar ummat.

Kita juga mesti melihat salah satu hadits, Diriwayatkan oleh Imam Thabrani, “Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammmad di tangan-Nya, akan berpecah umatku sebanyak 73 firqah, yang satu masuk Syurga dan yang lain masuk Neraka.” Bertanya para Sahabat: “Siapakah (yang tidak masuk Neraka) itu Ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Ahlussunnah wal Jamaah.” seharusnya hadits ini menjadi renungan buat kita karena hadits ini harusnya menyadarkan kita bahwa dalam Islam pun masih banyak terjadi kesalahan-kesalahan persepsi Ketuhanan atau Ketauhidan, disengaja ataupun tidak.

Mengapa kita bisa begitu menyepelekan perkara tauhid? Apakah karena kebanyakan dari kita mendapatkan status keislaman karena keturunan, sehingga kita menganggap tidak perlu belajar tentang Islam dari dasar lagi? Jika memang itu alasannya, maka itu menjawab kenapa cukup banyak mualaf yang begitu masuk Islam langsung terkenal dan biasanya menjadi ustadz. Selain karena kisahnya yang menarik didengar, juga karena mereka mesti belajar Islam dari dasar, yang biasanya diabaikan orang yang masuk Islam karena keturunan. Nah, ini (dan beberapa tulisan lainnya) semata-mata hanya merupakan opini dari penulis yang tidak didasari dengan data apapun, maka penulis tidak memaksa pembaca untuk mempercayai maupun menanggapinya.

Tidak bermaksud merendahkan pelajaran atau pengetahuan tentang fiqh maupun perihal lainnya, hanya penulis memang menganggap bahwa pengetahuan tentang tauhid masih begitu sedikit dan juga begitu terlambat kita terima sebagai ummat muslim, dan masih kurang mendapat perhatian lebih.

Jika anda menyukai artikel ini, silahkan di link balik dengan menyertakan link berikut di situs anda . Terima kasih.


0 komentar:

Posting Komentar

Tutur Kata Cerminan Pribadi Anda

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons