penulis: LK
SIGNAL 1 (Studi Islam Generasi Ulul Albaab 1)
Semoga pembelajaran Islam alumni signal 1 tidak berhenti begitu saja. Tetapi terus menerus ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya, terus menerus di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari, agar menjadi muslim/ah yang prestatif, bertaqwa, dan keren dunia akhirat.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
Minggu, 04 Maret 2012
TERIMAKASIH…. KAU BERIKU MASA DEPAN
05.49
Forum Ukhuwah dan Studi Islam Ulul Albaab
2 comments
Hal yang berkesan tak
harus sesuatu yang besar. Terkadang sebuah bantuan kecil akan sangan berarti
bagi kita, dan akan sangat membekas di hati. Seperti yang dialami seseorang,
yang kini menjadi sahabatku di bangku kuliah. Kejadian tiga tahun silam, yang
mampu mengubah jalan hidupnya. Sebuah peristiwa kecil, namun masih sangat lekat
di benak Rizki, sahabatku itu.
penulis: LK
Kejadian ini berawal
ketika semua siswa sekolah menengah atas sedang sibuk memilih universitas dan
berharap diterima di unversitas terbaik. Harap dan keinginan tersebut tumbuh
pula di benak Rizki. Bagi anak seorang buruh pabrik sepertinya, harap itu mungkin
hanya menjadi sebuah omong kosang. Semua butuh usaha yang keras, kegigihan, dan
semangat baja. Dia memang seorang yang pantang menyerah. Berawal dari
keberhasilannya masuk di sekolah menengah atas favorit di kotanya, meski dengan
beasiswa pemerintah, serta keberhasilan menahan hinaan dari tetangga-tetangga
yang menganggap orang bawah tak berhak untuk sekolah tinggi-tinggi, dia bangun
kepingan-kepingan semangat dalam dirinya. Bahkan saat itu, saat semua orang
menertawakan niatnya untuk melanjutkan belajar di perguruan tinggi, justru api
semangat dalam dirinya semakin berkobar.
Kejadian itu terjadi di
sebuah pagi yang suram. Dengan mata masih sayu, dia siapkan berkas-berkas
pengajuan beasiswa. Beasiswa bidik misi dari salah satu perguruan tinggi negeri
yang kini menjadi incarannya. Mendapatkan beasiswa adalah satu-satunya cara
agar dapat mengenyam pendidikan tinggi tanpa mengeluarkan banyak biaya. Dia
yakin semua persyaratan telah dilegkapi, karena semua telah dipersiapkannya
sejak subuh. Berangkat pagi-pagi sebelum ayam berkokok hanya untuk sampai di
sekolah lebih awal pun dilakoninya. Maklum, rumahnya memang tergolong sangat
jauh dari sekolah. Berjalan kaki, naik angkot, hingga berakhir dengan naik bus.
Semua itu telah menjadi rutinitas selama tiga tahun.
Ditemani rintik hujan, dia
telusuri jalanan yang akan membawanya ke sekolah. Bersama dinginnya pagi, bersama
harapan yang memuncak, serta bersama restu orang tuanya, langkah-langkahnya
semakin pasti. Pukul tujuh tepat, dia telah berada di depan gedung besar yang
tak lain adalah tempat yang ia tuju. Masih sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan
disana. Bukannya dia terlalu memaksa ingin cepat, tapi batas penyerahan berkas
beasiswa itu adalah di hari itu juga. Sekarang atau tidak sama sekali. Istilah
itu yang mungkin sangat tepat baginya.
Masih dengan pandangan
kosong. Dia tatap gedung besar di depannya. Sebuah bangunan yang selama tiga
tahun ini menampung dirinya beserta ribuan siswa yang terkenal anak orang-orang
elit. Alhamdulillah…. Berkali-kali dia ucap syukur sebelum benar-benar memasuki
ruangan administrasi sekolah. Terasa kosong. Tak banyak orang disana. Hanya ada
dua orang wanita paruh baya sedang menghadap komputer dan tumpukan kertas di
depannya. Tidak salah lagi, wanita itu adalah pengurus tata usaha di sekolah
Rizki yang sudah bekerja sangat lama, dan di usianya yang sudah lanjut, beliau
tetap gigih bekerja. Tanpa berpikir panjang lagi, Rizki segera menghadap wanita
itu dan menyampaikan keperluannya. Dengan senyum hangat, beliau meminta Rizki
menyerahkan berkas, dan menunggu hingga berkasnya diproses.
Huh…. Lega tersirat di
wajah manis Rizki. Wajah yang selalu teduh, yang mampu berikan semangat kepada
siapa saja yang melihatnya. Sembari menunggu panggilan dari bu Fatma, wanita
paruh baya pengurus tata usaha tadi, Rizki menyusuri setiap petak jalan di
sekolahnya. Sambil nostalgia, pikirnya. Dia sempat bertemu dengan beberapa
orang temannya yang nampaknya juga sedang mengurus masalah masuk universitas.
Setelah lama menunggu,
akhirnya bu Fatma memanggil Rizki ke kantor. Berharap urusannya segera selesai,
Rizki bergegas memenuhi panggilan. Hari sudah mulai sore. Baru saja adzan Ashar
berkumandang. Alhamdulillah, akhirnya selesai…. Ucap Rizki dalam hati.
Tanpa disangka, tanpa
diinginkan, kelegaan itu hanya bertahan beberapa saat. Bu Fatma bilang berkas
yang Rizki serahkan kurang lengkap, masih ada persyaratan yang belum
dilampirkan. Seketika Rizki lemas. Seluruh urat-urat sarafnya seakan berhenti
bekerja. Berkas yang sudah dipersiapkan sejak subuh, yang diyakini sudah
lengkap, ternyata masih saja kurang. Dengan langkah terseok dan berkas masih di
genggaman, dia keluar dari kantor. Putus asa. Kata yang kini menguasai diri
Rizki. Satu-satunya pilihan adalah mengambil berkas yang kurang ke rumah.
Namun, jarak rumahnya yang hampir sepuluh kilometer membuat Rizki patah
semangat. Apalagi dia tak memiliki kendaraan sendiri, kalaupun mungkin mendapat
pinjaman sepeda, dia masih belum punya SIM, bahkan untuk berkendara pun dia
masih belum cukup cakap. Jika dipaksakan naik angkutan umum, bisa-bisa malam
baru sampai sekolah lagi, dan pendaftaran sudah ditutup. Dia memilih duduk
sendiri di bangku taman depan sekolah. Ah…. Sudahlah, aku menyerah…. Kata-kata
di batinnya. Berbagai pikiran memenuhi otak Rizki. Pikiran tentang apa yang
dilakukannya setelah ini, pikiran tentang apa yang akan dikatakan pada orang
tuanya, hingga pikiran bahwa tak ada tempat di perguruan tinggi untuknya
bergantian mengisi ruang di oraknya. Dipenuhi rasa kecewa, dia membuang
berkas-berkas yang sejak tadi digenggamnya ke tempat sampah.
Belum lama termenung,
tiba-tiba muncul Ardan mengagetkan. Sepertinya, Ardan mengawasi apa yang
dilakukan Rizki sejak tadi. Dia pungut map merah yang tadi dibuang Rizki. Rizki
pun akhirnya menceritakan semua yang dialaminya hari itu. Senyum tersungging di
bibir Ardan mendengar cerita Rizki. Akhirnya, dengan tangan terbuka Ardan
menawarkan bantuan untuk mengantarkan Rizki pulang mengambil persyaratan yang
kurang tersebut. Seakan sebuah mimpi, datang malaikat yang mau menolong Rizki.
Meskipun selama ini Ardan tidak begitu dekat dengannya, namun saat itu Rizki
benar-benar telah menganggap Ardan sebagai sahabat. Mereka bergegas berangkat
menuju rumah Rizki, mengejar waktu.
Jalanan terjal yang
mungkin belum pernah ditemui Ardan sebelumnya tak menyurutkan niat baik untuk
membantu temannya itu. Satu setengah jam kemudian, mereka telah kembali lagi ke
sekolah sambil membawa berkas yang kini sudah lengkap. Pukul lima tepat. Bu
Fatma hampir beranjak dari tempatnya. Namun, lagi-lagi dengan senyum hangat di
bibirnya, beliau menerima berkas Rizki dan memasukkan data-datanya lewat komputer.
Selesai… sekarang semua benar-benar telah selesai. Selesai sesuai target yang
Rizki harapkan. Selesai tanpa harus ada kata menyerah. Selesai untuk berusaha,
dan awal untuk sebuah do’a yang akan menentukan nasibnya untuk belajar di
perguruan tinggi pilihannya. Beribu terimakasih Rizki ucapkan pada Ardan.
Baginya, Ardan benar-benar telah memberinya hal yang sangat besar. Rizki sadar
dia tak akan pernah bisa membalas kebaikannya, bahkan untuk sekedar membelikan
bensin untuk motor Ardan atau sekedar mentraktir makan bakso pun dia tak bisa.
Tak ada sepeserpun uang di kantongnya. Hanya ucap terimakasih yang tulus yang
sanggup dia berikan.
Tiga minggu berlalu.
Alhamdulillah…. Lamaran Rizki diterima. Dia telah resmi menjadi mahasiswa di
salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya. Sekarang, pikiran-pikiran
mengerikan yang ada di otaknya dulu sirna, berganti bayangan bahagia yang akan
dia ukir. Semua berkat jasa Ardan, orang yang memberinya bantuan ketika tengah
putus asa. Orang yang membuat semuanya jadi nyata. Tanpanya, berkas beasiswa
itu tak akan pernah diajukan, dan menjadi mahasiswa hanya menjadi sebuah mimpi.
Sampai kapanpun, Rizki akan selalu ingat kebaikannya itu, meski sampai saat ini
dia belum mampu membalas apa-apa. Mereka kini telah menjadi saudara.
Terkadang kebaikan itu
didefinisikan sebagai perbuatan besar. Memberikan sejumlah uang kepada fakir
miskin, memberi makan anak yatim, serta perbuatan besar lain yang tampak mata.
Namun, sesungguhnya berbuat baik itu tidaklah harus dengan perbuatan besar.
Sedikit kebaikan kita, mungkin mampu membuat orang lain tersenyum, bahkan
membuat orang lain mendapatkan masa depannya. Seperti kisah yang dialami Rizki,
meski hanya sebuah tebengan, namun
mampu mengubah hidup seseorang, mampu memberi masa depan bagi orang lain. Jadi,
jangan pernah takut untuk berbuat baik. Yakinlah jika kamu berbuat baik, maka
suatu saat nanti kamu juga akan mendapat kebaikan dari orang lain.
penulis: LK