Kamis, 07 Februari 2013

Kisah Pelajar SMA Memeluk Islam

Aku pernah bekerja sebagai seorang guru olah raga di salah satu sekolah SMA di kota Fort Mead wilayah Maryland di negara Amerika. Aku mengajar lima kelas berbeda di sekolah itu. Mulai dari kelas sembilan (tiga SMP) sampai dengan kelas duabelas (tiga SMA), masing- masing lokal berjumlah sekitar 40 murid.
Pada suatu hari seorang murid bernama James meminta izin ingin bertemu denganku. Ia bukanlah salah seorang murid dari kelas yang aku tangani. Ia meminta izin melalui salah seorang muridku. Ketika aku menemuinya di kantor, ia bertanya tanya tentang perkara dalam islam. Lantas aku memberikan jawaban yang ringkas. Selanjutnya ia kembali menemuiku dan meminta keterangan tambahan tentang hal itu. Aku bertanya kepadanya “Apakah pertanyaan ini berhubungan dengan pelajaran ilmu kemasyarakatan yang sedang engkau pelajari?”. Jawabnya bahwa ia telah membaca buku tentang islam di perpustakaan sekolah yang memunculkan perasaan ingin tahunya tentang islam.
Negara Amerika membuat peraturan tentang adanya pemisah antara urusan agama dan negara. Aku beritakan bahwa pembicaraan tentang masalah ini panjang lebar kurang tepat dilakukan secara umum. Oleh karena itu aku mengundangnya untuk makan di restoran yang ada di dekat sekolah. Setelah mendengar panjang lebar penjelasanku tentang islam dan tauhid,
Pada waktu itu usia james masih 16 tahun. Ada beberapa ganjaran yang masih menggelaayuti pikiranku. Pertama, ia masih belum usia dewasa. Jika kedua orang tuanya tahu bahwa dia serius mempelajari islam dan selalu berbincang denganku, tentu mereka akan melarangnya. Di samping itu, kota Fort Mead tidak lebih sebuah kota kecil tempat pangkala bersenjata dan masih termasuk wilayah militer. Aku berfikir, jangan – jangan yang demikian dapat menimbulkan problem, karena itu pemuda itu bekerja di pangkalan tersebut.
Walau demikian, aku masih sering bertemu dengannya di resoran itu. Setiap pertemuan aku selalu memberi penjelasan yang lebih luas agar ia mendapat faedah yang lebih luas. Kemudian, muncul keinginannya untuk mengunjungi masjid tempat umat muslim melaksanakan sholat. Maka aku membawanya di masjid kota lauren yang berdampingan dengan Fort Mead. Masjid tersebut tidak lebih dari sebuah rumah kuno. Kaum setempat mengubah bentuknya menjadi tempat ibadah. Disana aku mengajarkan tatanan shalat yang akan membuatmu lebih tertarikl dan takjub. Karena shalat merupakan komunikasi secara langsung antara Allah dengan manusia.
Kemudian James mengabarka kepadaku tentang keinginannyauntuk memeluk agama islam dan menanyakan apa yang harus ia lakukan. Aku katakn caranya mudah, hanya dengan sebuah ucapan. Walau antusiasnya memeluk Islam sangat besar, ridak lupa aku sampaikan bahwa dosa terbesar yang diemban seorang hamba ketika bertemu dengan Rabbnya ialah dosa seorang murtad dari islam. Oleh karena itu ia harus menambah pengetahuannya tentang islam dan amalan yang telah Allah wajibkan baik yang berkaitan dengan tauhid atau perkara ibadah, agar ia memeluk Islam atas dasar kesadaran dan ilmu.
Beberapa hari kemudian, ia kembali menemuiku. Dengan anugerah dan nikmat Allah, serta dengan keinginan dan pilihan sendiri ia mengucapkan dua kalomat syahadat. Setelah itu dengan mengndarai mobilku, sekali dalam seminggu aku mengajaknya untuk melaksanakan shalat di masjid sekaligus untuk mendengarkan ceramah agama. Aku juga mulai mengajarkan huruf-huruf arab dan dengan mudah ia pelajari. Lantas aku mulai mengajarinya membaca Al Qur’an. Kemudian muncul keinginannya untuk mempelajari adzan. Setelah ia berhasil menguasainya, ia prktekkan ke masjid sebagaimana yang telah diajarkan. Pengaruh adzan yang ia dengar Dan ia kumandangankan terlihat jelas pada dirinya.
Pada suatu hari aku mengajaknya pergi ke masjid. Aku tercengang ketika melihatnya keluar tanpa menggunakan pakaian Amerika tapi malah mengenakan pakaian gamis. Apalagi masyarakat sekitar sudah mengetahui kalu aku sering pergi ke rumahnya dan menaminya pergi ke masjid. Mereka menanggapinya dengan perasaan tidak suka. Aku katakan kepadanya bahwa penampilan seperti ini akna mengundan banyak perhatian. Seorang muslim boleh memakai kemeja dan celana saat melaksanakan shalat. Setelah aku selesai bicara, ia memandangku dan menjawab dengan santai, “ya ustadz ahmad, imanmu lemah.” Aku bertanya, “apakah kedua orang tuamu melarangmu memakai gamis tersebut?”. Ia menjawab orang tuanya tidak melarangnya dan mereka memahaminya bahwa semua ini adalah keinginan dan pilihanku sendiri. Ia juga menyebutkan bahwa ibunya memasak daging halal seacara terpisah sebagai penghormatan terhadap dirinya yang tidak boleh memakan bangkai atau babi. Aku menjadi tenang mendengar semua itu.
Beberapa waktu kemudian, ia mendatangiku dengan membawa permintaan yang lain. Waktu itu ia masih duduk di bangku SMA. Ia ingin mengubah namanya dengan nama islami. Aku katakan hal itu tidak mesti selama nama itu tidak melanggar syari’at islam. Begitu juga dengan nama yang asing di kalangan teman – teman Amerikanya mungkin tidak membantunya dalam usaha untuk mendakwahi mereka ke dalam islam. Atau mungkin diantara mereka ada yang menyangka bahwa ia haarus menukar namanya jika ia ingin memeluk islam. Jika mreka mengetahui hal itu mungkin mereka akan mencuekinya. Namun ia menjawab dengan ucapanya yang lalu, “Ya ustaz Ahmad . . . imanmu lemah.” Sejak itu namanya berubah menjadi James Husain Abeba. Kelihatanya namanya yang terakhir diambil dari nama orang Afrika yang banyak ipakai oleh bangsa amerika berkulit hitam.
Setelah berhasil menyelesaikan jenjang SMU, ia mulai mencari pekerjaaan di saat liburan musim panas. Ia mendapat sebuah pekerjaan sebagai penerima tamu di salah satu klinik milik seorang dokter muslimah. Ia banyak mengisi waktunya dengan membaca, karena klinik itu baru berdiri, sehingga tugas yang dilakukan masih sedikit.
Pada suatu hari, aku berkesempatan untuk melakukan umrah di bulan Ramadhan. Ini adalah kali pertama aku menghabiskan waktu di Mekkah dan Madinah, ini adalah bulan yang berkah. Di balik kegembiraanku melaksanakan led bersama kaum muslim di Mekkah, aku masih mencemaskan pemuda (James) yang sendirian di sana. Aku menanyakan keadaanya kepada teman yang ada di masjid. Merka katakan bahwa ia masih tetap rutin datang, bahkan dia ikut I’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Ketika aku pulang, aku menanyakan beritanya dan aktifitas yang ia lakukan. Namun, ia tidak menyinggung sedikitpun tentang I’tikaf yang telah ia laksanakan.
Selanjutnya ia memasuki sebuah universitas dan memilih bidang sejarah Islam. Aku juga mendapat kabar bahwa ia juga menikahi seorang muslimah India. aktifitas yang ia lakukan adalah berupaya mempersatukan mahasiswa muslim yang belajar di kampusnya. Setelah menyelesaikan bangku kuliah, ia bekerja sebagai salah satu staf pengajar di salah satu sekolah Islam yang ada di kota Chicago. Dan setelah itu beritanya terputus.

Rabu, 06 Februari 2013

Me vs Syaitan

Oleh : Subuh Muarif Rofi’i (2412031065)
Hanya manusia beriman yang mampu mengalahkan tipu daya setan


"Karena Engkau Telah menghukum saya (iblis) tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Q.S. Al-Araf ;16-17).

Antum merasa malas, tidak bersemangat, lemas atau bahkan galau itu mungkin karena bisikan syaithan yang ada di sekitar antum (hihihi jadi merinding..). Syaithan sudah membuat sumpah pada Allah dari zamannya nenek moyang kita (Adam dan Hawa) untuk mencari temen sebanyak-banyaknya untuk di ajak mandi air hot di neraka pastinya. Temen..? Siapa...? Tentu saja keturunan anak cucu Adam yaitu ana dan antum sekalian. Syaithan akan selalu mengganggu kita sekalian sampai tibanya hari Akhir. Syaithan selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan antum. Syaithan tak akan pernah tidur ( kaya ikan y.. ) sebelum bisa menjerumuskan manusia ke pada kesesatan. Bahkan saat antum tidur setan akan terus menggoda seperti sabda Rasulullah SAW sebagai berikut: 

يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلَاثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ فَإِنْ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ
Syaithan mengikat tengkuk salah seorang dari kalian saat dia tidur dengan tiga ikatan. Pada setiap ikatan dia membisikkan padamu: “Malam masih panjang, tidurlah!” Jika dia bangun lalu berzikir kepada Allah, maka lepaslah satu ikatan. Jika dia berwudhu maka lepaslah dua ikatan. Dan jika dia melanjutkan dengan shalat, maka lepaslah seluruh ikatan itu. Sehingga pada pagi harinya dia menjadi sangat semangat dan sehat jiwanya. Namun jika tidak, maka dia akan memasuki waktu pagi dengan jiwa yang buruk dan penuh kemalasan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Wah, wah, wah, mereka rajin bangetkan nganguin manusia ( give applause prok2..). kalau gak mau tidur bareng setan maka baca doa dulu ya, sebelum tidur tahukan? Klo g tahu doanya Tanya Si Mbah Google aja..Ok.
Tidak hanya saat kita istirahat aja syaithan menggangu saat melakuan aktifitas sehari-haripun setan tambah semangat mengoda manusia. Misalnya, saat ngaji tiba-tiba ada cewek yang pakaiannya kekurangan bahan lewat dan syaithan yang selalu siap siaga di deket antum berbisik (Hey, berhenti dulu belajarnya!! lihat tuh ada cewek bohay lewat ) lalu antum menoleh, setan berbisik lagi (Gmana? HOT kan.. ) antum (Ah, Ternyata NENEK2 pakai handuk >,<). Ini dapat dijadikan pelajaran bahwa tempat belajar haruslah tempat yang tidak ada gangguan , bukannya belajar di Diskotik (Astafirullah…).
Apa antum takut sama syaithan??? Jika iya, itu sungguh memalukan bagi seorang muslim, lebih baik ganti agama aja dech (haha, just kidding). Persepsi takut itu karena kita menggangap syaithan seperti yang ada di film- film bermata putih, baju putih-putih, muka berantakan, punggung bolong, bertaring, kepala botak, berdarah-darah, suka sama jeruk purut, (capek dech) pokoknya seperti itulah. Tapi apanya yang nyeremin, takut sama pocong gak layau (buntelan lontong lompat2 sekali pukul ngolet2 dilantai), Suster ngesot ( kita jalan aja dia gak bisa ngejar apa lagi lomba lari), nenek gayung (udah nenek2 nyariin gayung lagi, g serem banget), tuyul ( jitakkin tuh pala botak atu-atu). Namun pada intinya syaithan juga adalah mahluk ciptaan Allah SWT yang tidak dapat melakukan sesuatu tanpa kehendak dari –Nya. Syaithan tidak memiliki daya dan upaya pada diri kita, mereka hanya bisa berusaha dan berusaha menggoda manusia agar takut pada mereka serta memprovokasi untuk menjauhkan diri dari –Nya. Syaithan itu tidak bisa menyakiti manusia tapi malah sebaliknya manusialah yang menyakiti dirinya sendiri (Ok ..Brother)
Dalam pekerjaannya sebagai penggoda Si Iblis ini di bantuin sama 70.000 anaknya dan setiap anak ini memiliki 70.000 syaithan bisa di hitung sendirilah. Anak-anak ini suka menaburkan sesuatu di mata orang yang sedang mendengarkan ceramah ulama hingga mereka tertidur dan pahalanya terhapus. Ada yang suka mengencingi telinga manusia sehingga ia tidur pada shalat berjamaah. Ada juga anak iblis dan syaithan yang suka duduk di pinggul dan paha wanita, lalu menghiasinya agar setiap orang memandanginya. (Oh, pantes gue suka ngantuk waktu ada ceramah awas loe syaithan gue kencingi balik loe, haha).
Dalam ibadahpun syaithan masih tetap menggoda manusia (pantang menyerah sekali nih syaithan). Bagi yang suka mengulur-ulur shalat ni dia sebabnya ( jreng2..). Setiap ia hendak berdiri untuk shalat, aku (iblis) bisikan padanya bahwa waktu masih lama, kamu masih sibuk, lalu ia menundanya hingga ia melaksanakan shalat di luar waktu, maka shalat itu dipukulkannya kemukanya. Jika ia berhasil mengalahkanku, aku biarkan ia shalat. Namun aku bisikkan ke telinganya “lihat kiri dan kananmu”, iapun menoleh. pada saat itu aku usap dengan tanganku dan kucium keningnya serta aku katakan “shalatmu tidak sah”. Jika ia shalat sendirian, aku suruh dia untuk bergegas. ia pun shalat seperti ayam yang mematuk beras. Jika ia berhasil mengalahkanku dan ia shalat berjamaah, aku ikat lehernya dengan tali, hingga ia mengangkat kepalanya sebelum imam, atau meletakkannya sebelum imam. Kamu (Nabi Muhammad) tahu bahwa melakukan itu batal shalatnya dan wajahnya akan dirubah menjadi wajah keledai. Jika ia berhasil mengalahkanku, aku tiup hidungnya hingga ia menguap dalam shalat. Jika ia tidak menutup mulutnya ketika menguap, syaithan akan masuk ke dalam dirinya, dan membuatnya menjadi bertambah serakah dan gila dunia. (Audzubillahi minasyaithanirajim..)
Tapi tenang, jika syaithan dapat melakukan hal buruk pada antum, antumpun dapat membalas perbuatannya itu. Caranya ini dia (tereretetet…deng2); Shalat (iblis merasa panas dingin dan gemetar), berpuasa (Tubuhnya terasa terikat hingga tiba berbuka), membaca Al-Quran (merasa meleleh laksana timah diatas api), bersedekah (sama saja membelah tubuhnya dengan gergaji),istighfar di waktu siang dan malam (membakar hatinya), Shalat fajar (menusuk matanya), Shalat berjamaah (memukul kepalanya) serta masih banyak amalan lain yang syaithan takut padanya.(Gimana BRO.. walaupun kagak bisa lihat ama nyentuh syaithan tapi bisa mukul palanya tuh , kerenkan ).
Ana Cuma mau sekedar ngingetin antum sekalian bahwa kita mempunyai musuh yang sangat nyata yaitu iblis dan atek-anteknya syaithan yang tak pernah berhenti menjerumuskan manusia pada jalan neraka. Iblis membisikan kejahatan melalui hati kita, sehingga kita sulit membedakan apa itu dari diri sendiri atau pengaruh dari iblis. Untuk itu selalu ingatlah kata AA Gym JAGALAH HATI JANGAN KAU NODAI JAGALAH HATI CAHAYA ILLAHI dan juga ingatlah kata Bang Napi WASPADALAH-WASPADALAH. Selalu ingatlah pada Allah bahwa tiada kuasa selain dari-Nya dan mintalah perlindungan dari iblis dan bisikan-bisikannya. Namun ada segi baiknya kita mencontoh semangat pantang menyerah dan pengabdiannya yang sangat luarbiasa mencari pengikut neraka, dengan mengganti semangat dan pengabdian kita hanya kepada Allah SWT ( SO..LANSUNG SIKAT AJA SOB..!!!)
Sebenarnya masih banyak yang ingin ana sampaikan tapi nanti malah menjadi buku bukan artikel (Alasan aja…:D) Penulis mohon maaf bila ada tulisan yang kurang berkenan, penulis hanya mencari bahasa yang tidak terlalu membosankan betulkan cuy. Tetap semangat menundukkan iblis yang ada di hati kita. Takbir x3( ALLAHU AKBAR..x3)

Cinta Yang Salah

Cinta kepada Allah harus lebih besar dari apapun itu
Semua orang pasti pernah merasakan sebuah perasaan yang dinamakan cinta. Namun kebanyakan orang tidak memahami apa itu cinta dengan benar. Bahkan kebanyakan orang menyalahgunakan cinta menjadi Syahwat dan Hawa nafsu karena keduanya sebenarnya berbeda jika kota benar-benar memahaminya.

Cinta bisa berakibat fatal apabila kita salah dalam mempraktikkannya dengan mengedepankan syahwat dan hawa nafsu, karena nafsu tidak akan pernah ada puasnya sampai kapanpun.

Seseorang yang terperangkap dalam cinta syahwat dan hawa nafsu akan selalu tersiksa dan bahkan menjadi budak setan dan hawa nafsunya sendiri yang semestinya dia menjadi hamba Allah.

Diantara contoh cinta yang salah adalah yang dikenal dengan istilah pacaran. Islam tidak mengenal istilah pacaran dan proses pernikahan tidak boleh didahului dengan pacaran. Karena pacaran umumnya akan menyebabkan sepasang insan akan terjerumus ke lubang perzinahan dan penuh dengan kemudharatan

Pacaran bukanlah ukuran untuk menilai seseorang karena pacaran penuh dengan kepalsuan dan kebohongan. Apalagi kalau sampai pacaran itu berbuah pergaulan bebas dan perzinahan. Jika sepasang umat Islam berbeda jenis yang akan melalui pernikahan maka Islam akan menganjurkan pasangan tersebut melakukan Ta’aruf bukan malah pacaran yang penuh kemudhorotan dan sebagai sarana perzinahan. Nudzubillahiminzalik.

Semoga Allah menyelamatkan kita semua, Amin.

GARIS BESAR SHALAT

Masjid
 Oleh : Rendy Setya Budi
Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan Hadits Nabi, dapat dikatakan bahwa shalat adalah kewajiban peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistem keagamaan Islam. Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita menegakkan shalat (iqamat al-shalah, yakni menjalankannya dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan kaum beriman adalah pertama-tama karena shalatnya yang dilakukan dengan penuh kekhusyukan.[1]
Sebuah hadits Nabi saw menegaskan, "Yang pertama kali akan diperhitungkan tentang seorang hamba pada hari Kiamat ialah shalat. Jika baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak, maka rusak pula seluruh amalnya."[2]
Dan sabda beliau lagi, "Pangkal segala perkara ialah al-Islam (sikap pasrah kepada Allah), tiang penyangganya shalat, dan puncak tertingginya ialah perjuangan di jalan Allah."[3]
Karena demikian banyaknya penegasan-penegasan tentang pentingnya shalat yang kita dapatkan dalam sumber-sumber agama, dan tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu sebaik mungkin.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau sari pati semua bahan ajaran dan tujuan keagamaan. Dalam shalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup kita, yaitu penghambaan diri (ibadah) kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, dan melalui shalat itu kita memperoleh pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai hidup yang luhur.
Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa shalat mempunyai dua makna sekaligus:
- Makna intrinsik, sebagai tujuan pada dirinya sendiri
- Makna instrumental, sebagai sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur

Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)
Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental, dilambangkan dalam keseluruhan shalat, baik dalam unsur bacaannya maupun tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih, shalat dirumuskan sebagai "Ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang dibuka dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim (al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatuh), dengan runtutan dan tertib tertentu yang diterapkan oleh agama Islam."[4]
Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat al-ihram), yang mengandung arti takbir yang mengharamkan", yakni, mengharamkan segala tindakan dan tingkah laku yang tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap Tuhan.
Takbir pembukaan itu seakan menjadi suatu pernyataan formal seseorang membuka hubungan diri dengan Tuhan, dan mengharamkan atau memutuskan diri dari semua bentuk hubungan dengan sesama manusia.
Maka makna intrinsik shalat diisyaratkan dalam arti simbolik takbir pembukaan itu, yang melambangkan hubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya. Jika disebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah agar mereka menghamba kepada-Nya, maka wujud simbolik terpenting penghambaan itu ialah shalat yang dibuka dengan takbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan dimulainya sikap menghadap Allah SWT.
Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan dengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah), yaitu bacaan yang artinya, "Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Dia yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi, secara hanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi muslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik dan Benar itu), dan aku tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik."[5]
Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku, darma baktiku, hidupku dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam raya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan aku termasuk mereka yang pasrah (muslim)." [6]
Jadi, dalam shalat itu seseorang diharapkan hanya melakukan hubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankan melakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecuali dalam keadaan terpaksa). Inilah ide dasar dalam takbir pembukaan sebagai takbirat al-ihram.
Karena itu, dalam literatur kesufian berbahasa Jawa, shalat atau sembahyang dipandang sebagai "mati sajeroning urip" (mati dalam hidup),karena memang kematian adalah panutan hubungan horizontal sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari pembalasan" tanpa hubungan horizotal seperti pembelaan, perantaraan, ataupun tolong-menolong. [7]
Selanjutnya dia yang sedang melakukan shalat hendaknya menyadari sedalam-dalamnya akan posisinya sebagai seorang makhluk yang sedang menghadap Khaliknya, dengan penuh keharuan, kesyahduan dan kekhusyukan. Sedapat mungkin ia menghayati kehadirannya di hadapan Sang Maha Pencipta itu sedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah melihat Khaliknya"; dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi sedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai dengan makna ihsan seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.[8]
Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan, shalat juga sering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung di Sidrat al-Muntaha.
Dengan ihsan itu orang yang melakukan shalat menemukan salah satu makna yang amat penting ibaratnya, yaitu penginsyafan diri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci :
"Dia (Allah) itu beserta kamu di manapun kamu berada, dan Allah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." [9]
Bahwa shalat disyariatkan agar manusia senantiasa memelihara hubungan dengan Allah dalam wujud keinsyafan sedalam-dalamnya akan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintah kepada Nabi Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai:
"Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah olehmu akan Daku, dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku!" [10] Dan ingat kepada Allah yang dapat berarti kelestarian hubungan yang dekat dengan Allah adalah juga berarti menginsyafkan diri sendiri akan makna terakhir hidup di dunia ini, yaitu bahwa "Sesungguhnya kita berasal dari Allah, dan kita akan kembali kepada-Nya". [11]
Maka dalam literatur kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha Esa adalah "Sangkan-Paraning hurip" (Asal dan Tujuan hidup), bahkan "Sangkan-Paraning dumadi" (Asal dan Tujuan semua makhluk).
Keinsyafan terhadap Allah sebagai tujuan akhir hidup tentu akan mendorong seseorang untuk bertindak dan berpekerti sedemikian rupa sehingga ia kelak akan kembali kepada Allah dengan penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah mardliyyah).
Oleh karena manusia mengetahui, baik secara naluri maupun logika, bahwa Allah tidak akan memberi perkenan kepada sesuatu yang tidak benar dan tidak baik, maka tindakan dan pekerti yang harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju Allah ialah yang benar dan baik pula. Inilah jalan hidup yang lurus, yang asal-muasalnya ditunjukkan dan diterangi hati nurani (nurani, bersifat cahaya, yakni, terang dan menerangi), yang merupakan pusat rasa kesucian (fithrah) dan sumber dorongan suci manusia menuju kebenaran (hanif).
Tetapi manusia adalah makhluk yang sekalipun pada dasarnya baik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya tidak selalu mampu menangkap kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya dengan hidup sehari-hari. Sering kebenaran itu tak nampak padanya karena terhalang oleh hawa nafsu (hawa al-nafs, kecenderungan diri sendiri) yang subyektif dan egois sebagai akibat dikte dan penguasaan oleh vested interest-nya.
Karena itu dalam usaha mencari dan menemukan kebenaran tersebut mutlak diperlukan ketulusan hati dan keikhlasannya, yaitu sikap batin yang murni, yang sanggup melepaskan diri dari dikte kecenderungan diri sendiri atau hawa nafsu itu.
Begitulah, maka ketika dalam shalat seseorang membaca “surat al-Fatihah” yang merupakan bacaan terpenting dalam ibadat itu. Dan kandungan makna surat itu yang harus dihayati benar-benar ialah permohonan kepada Allah agar ditunjukkan jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim).
Permohonan itu setelah didahului dengan pernyataan bahwa seluruh perbuatan dirinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah (basmalah),diteruskan dengan pengakuan dan panjatan pujian kepada-Nya sebagai pemelihara seluruh alam raya (hamdalah), Yang Maha Pengasih (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman) dan Maha Penyayang (kepada kaum beriman di akhirat kelak -al-Rahim).
Lalu dilanjutkan dengan pengakuan terhadap Allah sebagai Penguasa Hari Pembalasan, di mana setiap orang akan berdiri mutlak sebagai pribadi di hadapan-Nya selaku Maha Hakim, dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak akan menghamba kecuali kepada-Nya saja semurni-murninya, dan juga hanya kepada-Nya saja kita memohon pertolongan karena menyadari bahwa kita sendiri tidak memiliki kemampuan intrinsik untuk menemukan kebenaran.
Dalam peneguhan hati bahwa kita tidak menghambakan diri kecuali kepada-Nya serta dalam penegasan bahwa hanya kepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti dikatakan oleh Ibn 'Atha' Allah al-Sakandari, kita berusaha mengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan ke arah jalan yang benar. Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwa kita tidak dibenarkan mengarahkan hidup ini kepada sesuatu apapun selain Tuhan, dan ketulusan berbentuk pelepasan pretensi-pretensi akan kemampuan diri menemukan kebenaran.
Dengan kata lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benar itu, dalam ketulusan, kita harapkan senantiasa kepada Allah bahwa Dia akan mengabulkan permohonan.kita, namun pada saat yang sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat kita tangkap dengan tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkan oleh kelemahan kita yang tidak dapat melepaskan diri dari kungkungan kecenderungan diri sendiri."Harap-harap cemas" itu merupakan indikasi kerendahan hati dan tawadlu', dan sikap itu merupakan pintu bagi masuknya karunia rahmat llahi:
"Berdoalah kamu kepada-Nya dengan kecemasan dan harapan! Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat baik." [12].
Jadi, di hadapan Allah "nothing is taken for granted," termasuk perasaan kita tentang kebaikan dan kebenaran dalam hidup nyata sehari-hari. Artinya, apapun perasaan, mungkin malah keyakinan kita tentang kebaikan dan kebenaran yang kita miliki harus senantiasa terbuka untuk dipertanyakan kembali.
Salah satu konsekuensi itu adalah "kecemasan." Jika tidak begitu maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan harapan yang tanpa kecemasan samasekali adalah sikap kepastian diri yang mengarah pada kesombongan. Seseorang disebut sesat pada waktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya ia menempuh jalan yang keliru.
Keadaan orang yang demikian itu, lepas dari "iktikad baiknya" tidak akan sampai kepada tujuan, meskipun, menurut Ibnu Taymiyyah, masih sedikit lebih baik daripada orang yang memang tidak peduli pada masalah moral dan etika; orang inilah yang mendapatkan murka dari Allah.

Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada Allah ialah jalan hidup mereka terdahulu yang telah mendapat karunia kebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka yang terkena murka, dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Ini berarti adanya isyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia juga mengisyaratkan adanya kewajiban mempelajari dan belajar dari sejarah, guna menemukan jalan hidup yang benar. [13]
Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa shalat merupakan kewajiban "berwaktu" atas kaum beriman. [14] Yaitu, diwajibkan pada waktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari (Subuh), diteruskan ke siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar), lalu sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib) dan akhirnya di malam hari ('Isya).
Hikmah di balik penentuan waktu itu ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi, kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja (Dhuhur) dan, lebih-lebih lagi, saat kita "santai" sesudah bekerja (dari Ashar sampai 'Isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanya dorongan dalam diri kita untuk mencari kebenaran menjadi lemah, mungkin malah kita tergelincir pada gelimang kesenangan dan kealpaan. Karena itulah ada pesan Ilahi agar kita menegakkan semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu Ashar, [15] dan agar kita mengisi waktu luang untuk bekerja keras mendekati Tuhan.[16]
Sebagai kewajiban pada hampir setiap saat, shalat juga mengisyaratkan bahwa usaha menemukan jalan hidup yang benar juga harus dilakukan setiap saat, dan harus dipandang sebagai proses tanpa berhenti. Oleh karena itu memang digunakan istilah "jalan," [17] dan pengertian "jalan" itu dengan sendirinya terkait erat dengan gerak dan dinamika. Maka dalam sistem ajaran agama, manusia didorong untuk selalu bergerak secara dinamis, sedemikian rupa sehingga seseorang tidak diterima untuk menjadikan keadaannya tertindas di suatu negeri atau tempat sehingga ia tidak mampu berbuat baik, karena ia toh sebenarnya dapat pergi, pindah atau bergerak meninggalkan negeri atau tempat itu ke tempat lain di bumi Tuhan yang luas ini. [18]
Dengan kata lain, dari shalat yang harus kita kerjakan setiap saat sepanjang hayat itu kita diajari untuk tidak berhenti mencari kebenaran, dan tidak kalah oleh situasi yang kebetulan tidak mendukung. Sekali kita berhenti karena merasa telah "sampai" pada suatu kebenaran, maka ia mengandung makna kita telah menemukan kebenaran terakhir atau final, dan itu berarti menemukan kebenaran mutlak. Ini adalah suatu kesombongan, seperti telah kita singgung di atas, dan akan menyangkut suatu kontradiksi dalam terminologi, yaitu adanya kita yang nisbi dapat mencapai kebenaran final yang mutlak.
Dan hal itu pada urutannya sendiri, akan berarti salah satu dari dua kemungkinan: apakah kita yang menjadi mutlak, sehingga "bertemu" dengan yang final itu, ataukah yang final itu telah menjadi nisbi, sehingga terjangkau oleh kita! Dan manapun dari kedua kemungkinan itu jelas menyalahi jiwa paham Tauhid yang mengajarkan tentang Tuhan, Kebenaran Final (al-Haqq), sebagai Wujud yang "tidak sebanding dengan sesuatu apa pun juga" [19] dan "tidak ada sesuatu apapun juga yang semisal dengan Dia" [20].
Jadi, Tuhan tidak analog dengan sesuatu apa pun juga. Karena itu Tuhan juga tidak mungkin terjangkau oleh akal manusia yang nisbi. Ini dilukiskan dalam Kitab Suci, "Itulah Allah, Tuhanmu sekalian, tiada Tuhan selain Dia, Pencipta segala sesuatu. Maka sembahlah akan Dia; Dia adalah Pelindung atas segala sesuatu. Pandangan tidak menangkap-Nya, dan Dia menangkap semua pandangan. Dia adalah Maha Lembut, Maha Teliti." [21]

Begitulah, kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah, yang sebagai bacaan inti dalam shalat dengan sendirinya menjiwai makna shalat itu. Adalah untuk doa kita yang kita panjatkan dengan harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalan yang lurus itu maka pada akhir al-Fatihah kita ucapkan dengan syahdu lafal Amin, yang artinya, "Semoga Allah mengabulkan permohonan ini." Dan sikap kita yang penuh keinsyafan sebagai kondisi yang sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap wajah") kepada Tuhan itulah yang menjadi inti makna intrinsik shalat kita.


MAKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM)

Shalat disebut bermakna intrinsik (makna dalam dirinya sendiri), karena ia merupakan tujuan pada dirinya sendiri, khususnya shalat sebagai peristiwa menghadap Allah dan berkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun melalui tingkah laku (khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebut bermakna instrumental, karena ia dapat dipandang sebagai sarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri.
Sesungguhnya adanya makna instrumental shalat itu sangat logis, justru sebagai konsekuensi makna intrinsiknya juga. Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafan menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya, maka tentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampak pada tingkah laku dan pekertinya, yang tidak lain daripada dampak kebaikan. Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itu merupakan kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan dalam kata-kata, namun tidak kurang pentingnya ialah perwujudan keluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku berbudi pekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan.
Inilah makna instrumental shalat, yang jika shalat itu tidak menghasilkan budi pekerti luhur maka ia sebagai "instrumen" akan sia-sia belaka. Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyak dikutip ialah, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepada engkau (hai Muhammad), yaitu Kitab Suci, dan tegakkanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang kotor dan keji, dan sungguh ingat kepada Allah adalah sangat agung (pahalanya). Allah mengetahui apa yang kamu sekalian kerjakan." [22]
Dengan jelas firman itu menunjukkan bahwa salah satu yang dituju oleh adanya kewajiban shalat ialah bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat jahat dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya dari kejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan melalui shalat. Karena itu jika shalat seseorang tidak mencapai hal yang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraan yang justru terkutuk dalam pandangan Allah. Inilah pengertian yang kita dapatkan dari firman Allah, (terjemahnya, kurang lebih) "Sudahkah engkau lihat orang yang mendustakan agama? Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak dengan tegas menganjurkan pemberian makan kepada orang miskin! Maka celakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [23]
Jadi, ditegaskan bahwa shalat seharusnya menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan sosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam sikap penuh santun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkan nasib orang miskin. Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan budi luhur dan perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapan salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain adalah doa untuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak, baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan diucapkan sebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial.
Dengan begitu maka shalat dimulai dengan pernyataan hubungan dengan Allah (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan sesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika shalat tidak menghasilkan ini, maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan menjadi alasan adanya kutukan Allah, karena dapat bersifat palsu dan menipu. Dari situ kita dapat memahami kerasnya peringatan dalam firman itu.
Dalam kaitannya dengan firman itu Muhammad Mahmud al-Shawwaf menguraikan makna ibadat demikian: Terdapat berbagai bentuk ibadat pada setiap agama, yang diberlakukan untuk mengingatkan manusia akan keinsyafan tentang kekuasaan Ilahi yang Maha Agung, yang merupakan sukma ibadat itu dan menjadi hikmah rahasianya sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusia yang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak yang satu menyerang yang lain. Sebab semuanya adalah hamba Allah.
Betapapun hebat dan mulianya seseorang namun Allah lebih hebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karena manusia lalai terhadap makna-makna yang luhur ini maka diadakanlah ibadat untuk mengingatkan mereka. Oleh karena itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak dalam pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya.
Dampak itu terjadi hanyalah dari ruh ibadat tersebut dan keinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan kesyahduan. Jika ibadat tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebut ibadat, melainkan sekedar adat dan pamrih, sama dengan bentuk manusia dan patungnya yang tidak disebut manusia, melainkan sekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata.
Shalat adalah ibadat yang paling agung, dan suatu kewajiban yang ditetapkan atas setiap orang muslim. Dan Allah memerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekedar menjalaninya saja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak dan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, dengan menghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasil tujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kita dengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari yang kotor dan keji", [24]
Dan firman-Nya lagi, "Sesungguhnya manusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, ia banyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyak mencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat..." [25]
Allah SWT memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalani shalat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaan tertentu namun melupakan makna ibadat itu dan hikmah rahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia berupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan peningkatan budi. Allah berfirman, "Maka celakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [26]
Mereka itu dinamakan "orang yang shalat" karena mereka mengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwa yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya, dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya dan keluhuran kebaikan-Nya.

Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama, pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat dilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan atau persetujuan mereka. Kedua pamrih adat kebiasaan, yaitu perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpa memperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta faedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yang sebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya. Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguh amat disayangkan! [27]
Demikian penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli agama dari Arab, al-Shawwaf, tentang makna instrumental shalat. Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan:
Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya Kecuali golongan yang beruntung (kanan) Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya, tentang nasib orang-orang yang berdosa: "Apa yang membawa kamu ke neraka?". Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang shalat, Dan tidak pula kami pernah memberi makan orang-orang melarat Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena Dan kami dustakan adanya hari pembalasan Sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." [28]
Maka, secara tegas, yang membuat orang-orang itu "masuk neraka" ialah karena mereka tidak pernah shalat yang menanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidup ini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawab sosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikan tanggung jawab sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidup egois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya, juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka pun lupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada hari pembalasan (akhirat).
Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat --selain menanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita— ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuah ide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhan melalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh warga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun paham mengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya shalat, sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keras kepada orang yang melakukan shalat hanya sebagai ritus yang kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dan komitmen sosial yang meluas.






CATATAN

1. "Sungguh berbahagialah mereka yang beriman, yaitu mereka yang khusyuk dalam shalat mereka..." (QS. al-Mu'minun 23:1-2).
2. Hadits, dikutip a.l. oleh Muhammad Mahmud al-Shawwaf, Kitab Ta'lim al-Shalah (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1387 H/1967 M), hal. 9.

3. Ibid.,hal. 13
4. Ibid., hal. 24
5. Doa pembukaan shalat ini sesungguhnya kita warisi dari kalimat Nabi Ibrahim a.s. dengan sedikit perubahan (yaitu tambahan kata-kata musliman), yang dia ucapkan sebagai kesimpulan proses pencariannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus pernyataan pembebasan diri dari praktek syirik kaumnya di Babilonia. (Lihat QS. al-An'am/6:79 dan penuturan di situ tentang bagaimana pengalaman pencarian Nabi Ibrahim sehingga ia "menemukan" Tuhan Yang Maha Esa, ayat 74-83).
6. Seruan ini pun berasal dari Kitab Suci, berupa perintah Allah kepada Nabi kita agar mengucapkan seruan serupa itu, sebagai kelanjutan semangat agama Nabi Ibrahim. Diadopsi dengan sedikit perubahan, yaitu dari "wa ana awwal al-muslimin" (dan aku adalah yang pertama dari mereka yang pasrah) menjadi "wa ana min al-muslimin" (dan aku termasuk mereka yang pasrah). (Lihat QS. al-An'am/6:161-162).
7. Lihat, a.l., QS. al-Baqarah 2:48, 123 dan 254.
8. Ada sebuah hadits yang amat terkenal, yang banyak dikutip para ulama kita, berkenaan dengan penjelasan Nabi saw tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Ketika Nabi saw ditanya tentang Ihsan (al-ihsan), beliau menjawab, "Al-ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya; dan kalau pun engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau."
9. QS. al-Hadid 57:4
10. QS. Thaha 20:14.
11. QS. al-Baqarah/2:156.
12. QS. al-A'raf/7:65.
13. Dalam Kitab Suci banyak kita temukan perintah Allah agar kita mempelajari sejarah dan pengambil pelajaran daripada Kitab Suci itu. Lihat, a.l. QS. Ali 'Imran/3:137.
14. QS. al-Nisa'/4:103.
15. QS. al-Baqarah/2:238.
16. QS. al-Insyirah/94:7-8.
17. Selain "shirath," metafor jalan juga dinyatakan dalam beberapa kata baku lain dalam nomenklatur Islam, yaitu syari'ah, thariqah, sabil, minhaj dan mansak, yang kesemuanya bermakna dasar "jalan" atau "cara" (metode).
18. Lihat QS. al-Nisa'/4:97.
19. QS. al-Ikhlash/112:4.
20. QS. al-Syura/42:11.
21. QS. al-An'am/6: 102-3.
22. QS. al-Ankabut/29:45.
23. QS. al-Ma'un/107:1-~.
24. QS. al-Ankabut/29:45.
25. QS. al-Ma'arij/70:19-22.
26. QS. al-Ma'un/107:
27. Muhammad Mahmud al-Shawwaf, 'Uddat al-Muslimin (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1388 H/1968 M). h. 55-57.
28. QS. al-Muddatstsir/74:38-47.
--------------------------------------------

KESEMPURNAAN ISLAM

 NAMA: APRILLIA DEWI AGUSTIN NRP    : 2412100023


“Islam merupakan agama yang paling sempurna”. Kata – kata tersebut pastilah sering didengar atau dibaca oleh masyarakat. Kata – kata tersebut bukanlah tanpa makna, karena bila dikaji lebih dalam makna kesempurnaan yang dimiliki oleh islam tersebut akan nyata sekali bagi tiap – tiap umatnya yang yakin dan percaya. Manusia dapat melihat kesempurnaan ini, salah satunya dari bagaimana islam mengatur kehidupan manusia hingga aspek yang paling mendetail, contohnya seperti bagaimana tata cara makan dan tidur yang baik sesuai aturan islam. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa islam merupakan agama yang senantiasa menuntun manusia untuk terus berada pada jalan yang lurus dimanapun mereka berada dan apapun yang mereka kerjakan. Akan tetapi, tidak sedikit yang malah beranggapan bahwa aturan – aturan tersebut membuat kegiatan mereka bertambah rumit. Masya Allah, padahal tanpa mereka sadari, sesungguhnya kerumitan itu mereka sendiri yang memunculkan akibat dari kurangnya rasa ikhlas dan yakin bahwa aturan yang telah Allah SWT tetapkan merupakan aturan terbaik agar umat-Nya senantiasa hidup dengan memiliki suatu pedoman agar selalu dalam jalan yang benar.

Selain itu, islam merupakan agama yang damai. Islam sangat berpantang dengan hal – hal yang berbau kekerasan dan memaksa baik dalam penyebaran maupun aturannya. Maksud dalam segi penyebaran disini adalah islam dalam menyebarkan ajaran, islam tidak pernah menggunakan kekuatan fisik, melainkan menggunakan pendekatan secara halus teradap masyarakat baik itu melalui diskusi ringan dengan menyelipkan ajaran – ajaran islam di dalamnya atau juga terkadang menyebarkannya melalui kebudayaan yang ada pada masyarakat tersebut, sehingga mesyarakat akan lebih terbuka dan memiliki keinginan untuk mengenal dan mempelajari islam lebih dalam lagi. Dan jika dilihat dari segi aturannya, maksud dari aturan yang jauh dari kekerasan adalah aturan dalam islam selau mengajak umat yang memeluknya untuk hidp jalan yang lurus yang mana sturan – aturan tersebut adalah aturan yang tidak memberatkan dan jauh dari kekerasan batin maupun fisik, yang mana dengan catatan harus ikhlas dalam menjalani dan mentaati aturan yang telah ditetapkan tersebut. Sedangkan maksud dari aturan yang tidak memaksa disini bukan diartikan bahwa aturan dalam islam boleh dilakukan atau tidak dengan seenaknya, melainkan dalam melakukan aturan tersebut, Allah SWT telah memberikan kebebasan kepada umat – Nya untuk melakukannya atau tidak, yang mana dari pilihan tersebut Allah SWT telah menyiapkan ganjaran yang sesuai.

Oleh karena itu, berbagai anggapan yang memandang islam sebagai agama yang sangat akrab dengan kekerasan dan peperangan merupakan pandangan yang sangat salah kaprah. Hal ini disebabkan, masyarakat menilai islam hanya dari kabar yang beredar melalui media massa tanpa mengkroscekkan dengan kenyataan tentang bagaimana sebenarnya agam islam sesuai dengan yang tertulis dalam Al – qur’an. Dan sudah sepatutnya, umat islam sekarang untuk melakukan upaya agar image agama islam di masyarakat luas dapat berubah, yaitu agama yang ajarannya paling sempurna dan merupakan agama yang damai dan mencintai kedamaian. Salah satunya dengan memiliki rasa bangga menjadi seorang muslim yang mana merupakan umat yang paling memiliki keutamaan di mata Allah SWT, karena dengan memiliki rasa bangga tersebut, maka keinginan untuk memperjuangkan agama islam dan beramal di jalan Allah SWT akan selalu menjadi niat utama dari setiap kegiatan yang dilakukan, apapun dan dimanapun.

Islam Agama Rahmat bagi Seluruh Alam

Oleh :
Febrilia Ramadani 2412100032


Agama-agama di dunia kebanyakan mengambil nama dari pencetusnya atau tempat di mana agama tersebut dilahirkan dan dikembangkan, sebagaimana agama Nasrani yang mengambil nama dari tempat yaitu Nazareth, agama Budha yang berasal dari nama pendirinya, Budha Gautama. Tetapi tidaklah demikian untuk agama Islam. Agama Islam tidak mempunyai hubungan dengan orang, tempat atau masyarakat tertentu di mana agama ini dilahirkan atau disiarkan.

Agama Islam (wahyu) adalah agama yang Allah turunkan sejak manusia pertama, yaitu Nabi Adam. Kemudian Allah turunkan secara berkesinambungan kepada para Nabi dan Rasul berikutnya. Akhir dari penurunan agama Islam itu terjadi pada masa kersulan Muhammad saw pada awal abad VII Masehi.

Ketika Islam disampaikan oleh Rasulullah kepada masyarakat Arab, beliau mengajak masyarakat untuk menerima dan mentaati ajaran Islam, tanggapan yang mere ka sampaikan kepada Rasulullah adalah sikap heran, aneh dan ganjil. Islam dianggapnya sebagai ajaran yang menyimpang dari tradisi leluhur yang telah mereka taati secara turun temurun, dan mereka tidak mautahu apakah tradisi tersebut salah atau benar (QS. Al Baqarah : 170). Di dalam sebuah hadits juga digambarkan, bahwa Islam datangnya dianggap asing dan akan kembali dianggap asing, namun berbahagialah orang yang dianggap asing tersebut.

Kata Islam berarti damai, selamat, penyerahan diri, tunduk dan patuh. Pengertian Islam tersebut menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang mengandung ajaran untuk menciptakan kedamaian, kerukunan, keselamatan dan kesejahteraan bagi kehidupan umat manusia pada khususnya semua makhluk Allah pada umumnya, bukan untuk mendatangkan dan membuat bencana atau kerusakan di muka bumi. Inilah yang disebut fungsi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).

Fungsi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak tergantung pada penerimaan atau penilaian manusia. Fungsi tersebut akan dapat terwujud dan dapat dirasakan oleh manusia itu sendiri maupun makhluk-makhluk lainnya, apabila manusia telah menaati dan menjalankan ajaran islam dengan benar dan kaffah.

Tentang Tauhid

Oleh : 
Nama    : Munzir Absa 
NRP    : 2412100085 
Lafadz Allah


Tersebutlah seorang syaikh yang menulis sebuah kitab tentang pentingnya tauhid. Ia menjelaskannya kepada muridnya dan terus mengulang-ulang penjelasannya. Suatu hari murid-muridnya meminta agar syaikh tersebut mengganti pembahasannya. Syaikh tersebut mempertimbangkan permintaan murid-muridnya.

Keesokan harinya dia keluar dengan raut wajah sedih, dan ketika murid-muridnya menanyakan perihal apa yangmenyebabkan kesedihannya, ia menjawab “Aku mendengar seorang laki-laki dari kampung tetangga menempati rumah baru, dia takut diganggu jin, maka dia menyembelih seekor ayam jantan di depan pintu rumahnya untuk mendekatkan diri pada jin, aku telah mengirim seseorang untuk mencari kebenaran berita tersebut”. Muridnya tidak bereaksi terhadap berita tersebut, mereka hanya berdoa meminta hidayah bagi orang tersebut, dan mereka hanya terdiam.

Keesokan harinya syaikh itu kembali menemui mereka dan berkata “Kami telah mendapatkan kejelasan peristiwa tersebut, ternyata peristiwanya tidak seperti yang aku dengar, lelaki itu tidak menyembelih ayam untuk jin, tapi yang dia lakukan adalah berzina dengan ibunya”. Spontan mereka gempar dengan kemarahan, “Perbuatannya harus digugat, dia harus dinasihati, dia harus dihukum” dan banyak lagi umpatan mereka.
Kemudian syaikh berkata “Sungguh aneh kalian ini, begitukah reaksi kalian mengingkari orang yang melakukan dosa besar, padahal perbuatannya itu tidak mengeluarkannnya dari Islam, sedangkan kalian tidak mengingkari orang yang terjerumus dalam kemusyrikan, menyembelih untuk selain Allah dan mengalamatkan ibadah selain untuk Allah?”. Murid-muridnya terdiam, kemudian syaikh menunjuk salah seorang dari mereka dan berkata, “Bangun dan ambilkan kitab Tauhid, kita akan membahasnya dari awal”
Mengherankan memang, tapi setidaknya kurang lebih hal semacam itulah yang terjadi disekitar kita. Ummat Islam di sekeliling kita, khususnya Indonesia seperti lebih mementingkan urusan-urusan lain seperti urusan fiqh, tata krama, atau hal lainnya ketimbang urusan tauhid. Sementara Al-Quran dan hadits menyampaikan dengan jelas bahwa perkara tauhid yaitu perkara mengesakan Allah adalah yang paling pertama dan paling mendasar dalam Islam sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.” (Muhammad: 19) atau hadits Rasulullah, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” (Riwayat Bukhori dan Muslim).

Kita saksikan saat ini cukup banyak media yang menjadi perantara untuk belajar agama, tapi seperti melupakan masalah tauhid. Stasiun-stasiun Televisi cukup banyak menayangkan acara-acara Islami seperti ceramah agama dan sebagainya tapi yang dipaparkan tak jauh-jauh dari perihal kesempurnaan ibadah, bagaimana mendapat keuntungan dari ibadah, atau bahkan bagaimana menjaga hubungan rumah tangga yang sakinah. Sedangkan sangat sedikit (atau bisa dikatakan tidak ada) yang membahas permasalahan bagaimana seharusnya seorang muslim beriman kepada Allah maupun makhlukNya yang diwajibkan bagi kita mengimaninya atau perihal tauhid yang lain. Pun begitu dengan media cetak. Begitu banyak buku-buku bertemakan Islam ditulis oleh penulis-penulis muslim Indonesia. Tapi topiknya juga tidak begitu jauh dari perihal ibadah, percintaan yang Islami, dan sebagainya, sementara perihal tauhid sangat sedikit dibahas. Demikian pula beberapa majalah-majalah Islam yang beredar di Indonesia, kurang lebih juga sama. Memang ada yang cukup banyak membahas perihal tauhid, tapi itupun tidak terlalu populer di kalangan pembaca muslim.

Demikian juga dengan kebanyakan pendidikan Islam di Indonesia yang berlangsung saat ini. Banyak sekolah-sekolah memberikan pelajaran Islam kebanyakan berupa tata cara wudhu, shalat, puasa, hafalan Al-Quran, makna ayat Al-Quran dan lainnya. Banyak juga memang pelajaran tentang tauhid, tapi pelajaran tauhid yang diajarkan seperti beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasulNya, hari akhir, dan taqdir tersebut seperti hanya sekedarnya saja. Murid-murid diajari rukun iman, tapi tidak benar-benar dijelaskan bagaimana seharusnya pengimplementasiannya. Sebagaimana yang penulis rasakan sendiri, seperti ada sebuah sugesti bagi pelajar yang belajar pelajaran Islam di banyak sekolah-sekolah bahwa perihal iman ini adalah begitu simpel, hal yang sudah dimiliki seluruh muslim, yaitu hanya perihal kepercayaan, jadi seorang muslim cukup percaya bahwa Allah itu ada, malaikat Allah itu ada, dan sebagainya. Di lain pihak, para pelajar pun tidak terlalu menganggap pelajaran yang berkaitan dengan tauhid. Padahal dari pendidikan dasar atau sekolah tingkat dasarlah harusnya diawali pendidikan tauhid, karena pelajar-pelajar tersebut yang akan menjadi masa depan ummat muslim.

Pada kenyataanya, tauhid bukanlah hal yang begitu mudah dipahami maupun diimplementasikan oleh ummat muslim. Jika memang tauhid adalah hal yang begitu mudah bagi ummat, tentu tidak akan kita temukan banyak aliran-aliran sesat yang tidak hanya melenceng dalam fiqh ibadah, tapi juga dalam Ketuhanan. Begitu pula mestinya tidak kita temukan upacara-upacara yang melenceng karena menduakan Allah dalam pelaksanaannya seperti shalat di kuburan, berdoa dengan perantara orang meninggal, menyajikan sesajen, juga masih banyak lagi hal-hal melenceng lain dari prinsip ketauhidan yang kita temui di sekitar ummat.

Kita juga mesti melihat salah satu hadits, Diriwayatkan oleh Imam Thabrani, “Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammmad di tangan-Nya, akan berpecah umatku sebanyak 73 firqah, yang satu masuk Syurga dan yang lain masuk Neraka.” Bertanya para Sahabat: “Siapakah (yang tidak masuk Neraka) itu Ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Ahlussunnah wal Jamaah.” seharusnya hadits ini menjadi renungan buat kita karena hadits ini harusnya menyadarkan kita bahwa dalam Islam pun masih banyak terjadi kesalahan-kesalahan persepsi Ketuhanan atau Ketauhidan, disengaja ataupun tidak.

Mengapa kita bisa begitu menyepelekan perkara tauhid? Apakah karena kebanyakan dari kita mendapatkan status keislaman karena keturunan, sehingga kita menganggap tidak perlu belajar tentang Islam dari dasar lagi? Jika memang itu alasannya, maka itu menjawab kenapa cukup banyak mualaf yang begitu masuk Islam langsung terkenal dan biasanya menjadi ustadz. Selain karena kisahnya yang menarik didengar, juga karena mereka mesti belajar Islam dari dasar, yang biasanya diabaikan orang yang masuk Islam karena keturunan. Nah, ini (dan beberapa tulisan lainnya) semata-mata hanya merupakan opini dari penulis yang tidak didasari dengan data apapun, maka penulis tidak memaksa pembaca untuk mempercayai maupun menanggapinya.

Tidak bermaksud merendahkan pelajaran atau pengetahuan tentang fiqh maupun perihal lainnya, hanya penulis memang menganggap bahwa pengetahuan tentang tauhid masih begitu sedikit dan juga begitu terlambat kita terima sebagai ummat muslim, dan masih kurang mendapat perhatian lebih.

Keutamaan Orang Mukmin

Munjat
Oleh : 
Muh. Abid Abdullah
24 12 100 039

Dalam Muraqabah (pengawasan)

Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.(At-taubah:105)
Ayat di atas merupakan isyarat untuk menunujukkan amalan seseorang yang telah dilakukan di dunia, kelak di hari kiamat amalan-amalan seseorang akan dilaporkan kepada-Nya , kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mukmin. Hal ini merupakan ancaman bagi orang yang melakukan perbuatan melanggar perintah-Nya.

Mengenai hal ini ada sebuah kisah yang berhubungan dengan isyarat di atas yaitu terjadi pada masa kekhalifahan sayyidina umar bin khatab r.a.beliau adalah pemimpin yang teladan yang selalu melakukan sidak dan ronda dan pada suatu malam beliau mendengar percakapan antara ibu dan anak dimana mereka memliki profesi sebagai penjual susu yang miskin karena sang ibu tersebut ingin mendapatkan keuntungan yang besar maka si ibu berniat curang. Sang ibu berkata,"wahai anakku, segeralah kita tambahkan air ke dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum matahari terbit".dan anaknya pun menjawab,"wahai ibu kia tidak boleh melakukan kecurangan seperti ini,karena amirul mukminin melarang kita berbuat hal seperti ini,"dan sang ibu menjawab, "wahai anakku tidak mengapa, amirul mukminin tidak akan tahu karena dia tidak ada disini." dan anaknya pun membalas,"jika amirul mukminin tidak tahu,tapi tuhan amirul mukminin pasti mengetahui," mendengar percakapan ibu dan anak tersebut umar pun merasa kagum akan pendirian serta kejujuran anak itu. Khalifa umar pun pulang kerumah dan menyuruh anaknya ashim untuk menikahi putri yang sholeha tersebut yang nantinya akan memberikan keturunan yang hebat bernama umar bin abdul aziz.

Dalam hal walayah
Dalam hal walayah, Allah telah menjadikan orang mukmin pada deretan tiga setelah Allah dan Rasul-Nya, seperti firman-Nya:

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (Al-maidah: 55)
Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa Abdullah bin Salam ketika ia mengadukan tentang permusuhan Yahudi terhadap dirinya setelah ia masuk islam, maka turunlah ayat ini.
Ayat di atas menunjukan bahwa Allah lah yang menjaga, menolong dan membela kita karena setiap muslim yang mencintai Allah maka Allah akan menjaga dan melindunginya dan tidak mungkin Allah akan membiarkan seorang hamba yang bertaqwa kepada-Nya berada dalam kesusahan karena Allah akan bersama orang-orang yang beriman kepada-Nya dan Rasul-nya.

Dalam Hal Muwalah
“...dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong.” (Al-hajj: 78)
Orang-orang yang menjadikan Allah sebagai pelindung-Nya maka tidak ada kekhawatiran, rasa cemas dalam dirinya karena mereka yakin Allah maha mengetahui dan akan menolong hamba-Nya yang berada dalam kesusahan dan apabila mereka tertimpa musibah mereka yakin Allah sedang menguji-Nya dan akan mendapat balasan yang baik kelak di akhirat.
Sebagian orang mukmin meyakini bahwa orang yang menjadikan Allah sebagai pelindungnya tidak akan disiksa, dan orang yang menjadikan Allah sebagai pembelanya maka ia tidak akan terkalahkan, dan orang yang menjadikan Allah sebagai pemberi petunjuk maka ia tidak akan disesatkan.

Al-Izzah (keperkasaan)
Allah ta’ala berfirman:

“...Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.”(Al-Munafiqun: 8)
Keperkasaan seorang mukmin adalah keperkasaan ikrar kalimat Laa Ilaaha Illallah. Mereka tidak menerima kehinaan, karena Allah dan Rasullullah tidak pernah menerima kerendahan dan kehinaan, maka sudah menjadi keharusan seorang mukmin juga tidak menerima kerendahan dan kehinaan terhadap dirinya sebagai pemeluk agama yang memiliki ajaran-ajaran yang sempurna. Allah perkasa karena sebagai tempat meminta, Dia Maha Kaya, tidak memerlukan sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Rasullullah perkasa karena karunia dan kecukupan yang diberikan Allah kepadanya. Keperkasaan seorang mukmin juga karena kecukupan yang diberikan Allah kepada mereka 

Harun Ar-Rasyid bertanya kepada Manshur bin Ammar, “Siapakah orang yang paling berakal, paling bodoh, paling kaya da paling perkasa di antara manusia?” Manshur menjawab, ”Orang yang paling pintar adalah orang yang berbuat baik tetapi takut akan azab Allah. Yang paling bodoh ialah orang yang berbuat kejahatan tetapi mersa aman. Yang paling kaya dari mereka ialah orang yang qana’ah (selalu merasa cukup). Sedangkan orang yang paling perkasa ialah orang yang taqwa”

Ghazwul Fikr antara “Israel & Iran”



Para Zionis (yahudi) memang memiliki strategi dan rencana yang sangat matang & baik dalam mengendalikan dunia ini. Zionis meng-eksopose bahwa iran adalah negara muslim yang berani melawan Israel. Namun, sebeenarnya Iran sendiri, telah diperalat oleh zionis. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, pernah berkoar “Hapus peta israel diseluruh dunia !”. Dia juga berani mengacuhkan peringatan PBB untuk menghentikan program nuklirnya. Mungkin kita berpikir bahwa Rusia lah yang membuat Iran berani tidak menghiraukan perintah Amerika Serikat melalui PBB, sebab Iran memiliki hubungan yang baik dengan Rusia. Namun, bukan karena Rusia, hubungan diplomatik Iran-Israel yang menyebabkan zionis hanya mengancam Iran dan tidak menindaknya.

Hubungan Diplomatik
Sejatinya, menurut Husain Ali Hasyimi, dalam tulisannya, Al-Harbul Musytarakah Iran wa Israil bahwa sejak zaman Syiah Pahlevi, Iran telah menjalin hubungan perdagangan dengan Zionis Yahudi. Dan hubungan dagang ini berkelanjutan hingga setelah revolusi Syiah yang dipimpin oleh Khumaini. Bahkan pada tahun 1980-1985, Zionis Yahudi merupakan Negara pemasok senjata terbesar ke Iran. Sandiwara “permusuhan” Iran dan Yahudi mulai terbongkar, ketika pesawat kargo Argentina yang membawa persenjataan dari Yahudi ke Iran tersesat, sehingga masuk ke wilayah Uni Soviet, dan akhirnya di tembak jatuh oleh pasukan pertahanan Uni Soviet. Dikisahkan, Iran membeli persenjataan dari Yahudi seharga 150 juta dolar Amerika, sehingga untuk mengirimkan seluruh senjata tersebut, dibutuhkan 12 kali penerbangan. Lebih dari itu, Amerika juga pernah terlibat skandal dengan Iran dimana Ronald Reagen, (yang kala itu menjadi Capres) pernah berpura-pura memerangi Khomeini, akan tetapi di belakang layar justru Amerika gencar mengirimkan senjata-senjata mutakhir untuk memenangkan Khomeini.

Sikap Iran terhadap Al-Aqsa
Mahmud Ahmadinejad pernah memberi hadiah kepada seorang penulis buku sekaligus seorang ulama besar Syiah abad ini, yakni Jafar Murtada Al Amili (lihat foto), yang telah menulis sebuah buku berjudul ”Ayna Masjid al-Aqsha?” (Di Manakah Masjid Al Aqsha?) yang intinya mengungkapkan bahwa keberadaan Masjid Al-Aqsha yang sesungguhnya bukanlah di bumi Al-Quds, melainkan di langit . Dan menganggap masjid mereka di Kuffah lebih baik dai Al-Aqsha seperti tertulis dalam kitab rujukan Syiah Biharul Anwar.Buku tersebut ditetapkan yang terbaik di Iran. Pemberian hadiah tersebut menyiratkan bahwa, Ahmadinejad menyetujui isi buku tersebut yang menolak klaim bahwa sahabat Umar bin Khottob Ra telah membebaskan Al Aqsha dari bangsa Romawi, karena dianggap Rasulullah SAW tidak melakukan perjalanan darat ke Al Aqsha tetapi pada saat perjalanan menuju ke langit(mi’raj). Lantas pertanyaannya, apakah mungkin Ahmadinejad akan terlibat dalam perjuangan pembebasan masjid Al Aqsha sedangkan ia berpendapat masjid tersebut berada diatas langit ?

Keturunan Yahudi
Pada 2009 Telegraph.co.uk—harian berita dari Inggris—menurunkan berita yang cukup mengejutkan. Sebuah foto Presiden Iran Ahmadinejad sambil mengangkat kartu identitasnya selama pemilihan umum Maret 2008 dengan jelas menunjukkan keluarganya memiliki akar Yahudi. Dokumen close-up itu mengungkapkan dia sebelumnya dikenal sebagai Sabourjian – atau kain tenun dalam arti nama bahasa Yahudi. Sebuah catatan pendek yang tertulis di kartu itu menunjukkan keluarganya berubah nama menjadi Ahmadinejad, ketika mereka dikonversi untuk memeluk Islam setelah kelahirannya. Sabourjian berasal dari Aradan, tempat kelahiran Ahmadinejad, dan nama itu diturunkan dari “penenun dari Sabour”, nama untuk selendang Tallit Yahudi di Persia. Nama ini, ada dalam daftar nama cipta untuk orang Yahudi di Iran, menurut Departmen Dalam Negeri Iran.

Ali Nourizadeh, dari Pusat Studi Arab dan Iran, mengatakan: “Aspek latar belakang Ahmadinejad menjelaskan banyak tentang dirinya. Dengan membuat pernyataan-pernyataan anti-Israel, ia sedang mencoba untuk menumpahkan kecurigaan tentang hubungannya dengan Yahudi. Ia merasa rentan dalam masyarakat Syiah yang radikal.”

Seorang ahli yang berpusat di London Yahudi Iran mengatakan, “Dia telah mengubah namanya karena alasan agama, atau setidaknya orangtuanya,” kata kelahiran Yahudi Iran yang tinggal di London itu . “Sabourjian dikenal sebagai nama Yahudi di Iran.” Ahmadinejad tidak menyangkal namanya berubah ketika keluarganya pindah ke Teheran pada tahun 1950-an. Tapi dia tidak pernah mengungkapkan perubahan berhubungan dengan pergantian keyakinan. Ahmadinejad tumbuh menjadi insinyur yang memenuhi syarat dengan gelar doktor dalam manajemen. Sebelum terjun jadi politisi, Ahmadinejad bertugas sebagai tentara pada Pengawal Revolusi. Selama debat presiden di televisi tahun ini, ia dipancing untuk mengakui bahwa namanya telah berubah tapi ia mengabaikannya. Mehdi Khazali, seorang blogger internet, yang menyerukan penyelidikan akar nama Presiden Ahmadinejad ditangkap musim panas ini.

Negara Syi’ah
Banyak fakta telah terungkap bahwa pada kenyataannya permusuhan Iran justru tertuju kepada Islam itu sendiri. Lihatlah di Ibukota Iran, Teheran. Silahkan Anda hitung berapa banyak Masjid-Masjid Sunni jika dibandingkan dengan Sinagog (tempat peribadatan orang-orang Yahudi) ?! Tidak ada satupun Masjid sunni berdiri disana, justru Sinagog bertebaran hingga lebih dari 45 buah! Padahal populasi muslim sunni di Iran adalah terbesar kedua setelah Syiah. Itu hanya secuil bukti ketimpangan amal perkataan dengan fakta lapangan.

Darah yahudi yang mengalir didalam tubuh Ahmadinejad membuatnya tidak membela islam, walupun dirinya sendiri adalah seorang muslim. Wallahu a’lam.. 

Sumber : - dikutip dari Mainstream Media Indonesia
- http://arrahmah.com/read/2012/01/02/17142-menyingkap-konspirasi-terselubung-syiah-iran.html

Berbagai Jalan Allah dalam Menyadarkan HambaNya

Oleh : Nur Fadhilah


Memang sudah menjadi watak manusia yang memiliki sifat bandel, dia tidak mau sadar dan percaya apabila dinasehati tentang kehidupan dunia yang sementara lagi penuh dengan tipuan tipuan yang menyesatkan manusia. Atau ada juga yang percaya namun menganggap remeh seakan nasihat itu masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Dalam hal itu, Allah tidak dengan jalan itu saja dalam menyadarkan hambaNYA melainkan Allah memberinya peringaan kepada hambaNya melalui jalan keburukan-keburukan kehidupan dunia seperti, adanya saki dan bermacam-macam bencana yang menimpa dirinya secara langsung, semua itu tujuan pokok Allah agar manusia bisa sadar dan bosan dengan kehidupan dunia lalu mengejar kehidupan akhirat, tapi manusia banyak yang tidak menyadari. Jadi nyatalah kalau demikian, bahwa ujian Allah itu pada hakekatnya adalah suatu rahmat bagi yang memahami akan arti hidup ini.

Biasanya manusia apabila sudah mengalami bencana, ia lalu sadar dan ingat akan mati, lantas mu mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan ketika mereka mendapatkan rezeki atau suatu kebahagiaan mereka lupa bahwa itu adalah dari Allah. Sehingga mereka lupa bersyukur dan menjadi kufur terhadap nikmat Allah SWT. Kita harus tahu, bahwa ditengah-tengah kesibukan manusia dalam mengolah hidupnya, maka seorang demi seorang dari mereka yang asalnya sibuk dalam mengurusi dunia, berangkat juga meninggalkan dunia yang amai ini, alias mati.

Dalam surat At-Takasur ayat 1-8 dijelaskan: “Bermegah megahanelah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui(akibat perbuatanmu itu). Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar benar akan melihat neraka Jahim. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ainul yakin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah megahkan di dinua).

Mati telah memisahkan kita dari kehidupan dunia yang fana ini mau tak mau ia akan mengalami suatu bentuk lain dari kehidupan dunia ini. Dimulai sejak dia menutup mata untuk tidak melihat dunia ini selamanya. Pergi tidak kembali lagi.

“QUL INNA SOLAATII WANUSUKI WAMAHYAAYA WAMAMAATII LILLAAHI RABBIL AALAMMINA”. (Katakanlah : sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah bagi Allah, Tuhan semesta alam).

Apabila umur masih ada dan ajal belum dating, manusia tidak akan mati walau seluruh dunia ini hendak mengusirnya. Dan apabila umur sudah habis dan ajal sudah sampai maka manusia pasti mati walau seluruh dunia mendoakan umur panjang. Salah satu fungsi agama yang ditentukan Allah ialah mengatur hidup ini demi mencapai kejayaan, kemakmuran yang diridhoiNya. Dalam Al-Quran dan Hadist sudah tercantum smua syariat dan hokum hukumm Islam. Dan baarangsiapa yang berpegangan pada keduanya maka akan selamt hidupnya di dunia maupun di akhirat. Dalam hidup ini, Allah memberi unsur unsur kepada manusia dengan alat-alat kehidupan, yaitu unsure jasmaniah dan unsure rohaniah, kemampuan insane dengan bakan dan karir yang berbeda-beda. Apakah dia bergerak di bidang ilmiyah, politik,social, budaya, dan sebagainya. Namun semuanya harus dengan kesadaran bahwa hidup ini di tangan Allah alias Dia yang punya. Bila dilompatinya garis-garis yang ditentukan Allah, karena unsure sombong dan dengki, sampai berbuat semau gue, sekehendak hawa nafsu, maka dia akan berhadapan denganAllah. Dari it, maka dalam gelimang dunia manusia beriman akan selalu berusaha dalam membina hidup ang baik dalam ridho Allah aagar diakhir hidupnya nanti mencapai taraf husnul khotimah, hidup baik dan mati pun dalam keadaan baik pula. Dan mati yang baik itu bukan ditandai dangan banyaknya orang yang mendatangi jenazah dan banyaknya orang yang menyalatinya atau banyaknya orang yang mengantarkan ke kubur. Tetapi pribadi orang itu sendiri apakah dia dapat menutup hayat dengan kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH atau lebih banyak mengingat Allah pada saat menghembuskan nafas terakhir. Seperti sahabat Nabi SAW yang bernama Abu Dzar, dia meninggal dalam pengasingan dizaman Kholifah Usman bin Affan. Hanya beberapa orang saja yang melihat dan mengantarkan jenazahnya ke kubur. Sebaliknya bila mati yang tidak berketentuan disebut su’ul khotimah(mati yang jelek diakhir) di sisi Alla, dan sering pula sebelum matinya Allah memberikan ilustrasi buruk. Seperti Hajaj Yusuf Atsaqi yang sebelum matinya meraung-raung berhari-hari seperti singa, akibat kezaliman yang dibuatnya sebagai penguasa di Kufah dan Madinah.

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yag diterima taubatnya, dan Alla Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang diantara mereka, (barulah ia mengatakan : Sesungguhnya saya bertaubat sekarang. Dan tidk (diterima) taubat orang-orang yang mati sedang mereka dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah kami sediakan siksaaan yang pedih.

Sumber Suara Hati


Oleh : Sucy Rukta Marda 2412031040
Suara hati fitrah manusia pada dasarnya bersifat universal, dengan catatan manusia tersebut telah mencapai titik zerodan terbebas dari titik belenggu. Lalu apabila mencermati surah As-Sajdah ayat 9, Allah telah menurunkan ciptaan-Nya yang bersifat mulia kepada manusia. Ini dibuktikan oleh anggukan Universaldan didasari oleh surat Al-A`raf ayat 172, yaitu ketika jiwa manusia mengakui dan mengangguk kepada Allah bahwa Allah-lah Tuhannya. Angkutan yang membenarkan suara hati fitrah itu terus berjalan dan bisa dirasakan. Dan suara hati adalah kunci spiritual, karena ia adalah fitrah. Keinginan diperlakukan adil, keinginan hidup sejahtera, keinginan mengasihi dan dikasihi. Itu adalh bukti adanya perjanjian spiritual antara manusia dengan Tuhan. Bandingkan dengan literatur-literatur barat yang menjelaskan tentang kecerdasan emosional dan spiritual, namun tidak mampu mengidentifikasi dari mana sumber suara hati fitrah tersebut.

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari Bani Adanketurunanya dari sulbinya, dan menyuruh mereka bersaksi terhadap dirinya sendiri (atas pertanyaan). “Bukan-kah Aku Tuhanmu?” mereka menjawab, “Ya, kami bersaksi!” (yang demikian itu) supaya jangan kamu berkata dihari kiamat, “kami tiada mengetahui hal ini. QS Al-A`raaf (Tempat Tertimggi) 7:172

Suara hati fitrah manusia dapat dipelihara dengan 99 sifat Allah yang ada di Al-Qur`an. Suara hati yang tiba-tiba muncul dan dirasakan,bisa berupa peringatan, larangan, atau sebaliknya sebuah keinginan , bahkan bimbingan. Sering kali, dapat berupa penyesalan apabila dorongan itu terlewatkan.

Jadi, haruss disempatkan hati menyepi sejenak, berzikir asmaul husna. 7 dasar yang harus dijunjung tinggi sebagai bekal untuk mencapai prestasi gemilang.

Diantaranya adalah :
1. Jujur
2. Tanggung Jawab
3. Disiplin
4. Kerja Sama
5. Adil
6. Visionar
7. Peduli

Ketujuh sifat inilah yang perlu dijadikan value atau nilai, yang akan memberikan `meaning` atau makna bagi yang melaksanakannya.

Jadi kita sebagai mahasiswa apabila ingin mendapatkan ilmu yang barokah dan prestasi yang gemilang harus tahu betul tentang suara hati yang fitrah dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah swt dan mengenali sifat-sifat Allah.

KEAJAIBAN BERSIWAK

Oleh :
Nama : Ahmad Hanafi
NRP : 2412100013
Siwak
Siwak adalah nama untuk dahan atau akar pohon yang digunakan untuk bersiwak. Oleh karena itu semua dahan atau akar pohon apa saja boleh kita gunakan untuk bersiwak jika memenuhi persyaratannya, yaitu lembut, sehingga batang atau akar kayu yang keras tidak boleh digunakan untuk bersiwak karena bisa merusak gusi dan email gigi; bisa membersihkan dan berserat serta bersifat basah, sehingga akar atau batang yang tidak ada seratnya tidak bisa digunakan untuk bersiwak; seratnya tersebut tidak berjatuhan ketika digunakan untuk bersiwak sehingga bisa mengotori mulut. (syarhul mumti’ 1/118)

Sebagian ulama berpendapat tidaklah dikatakan bersiwak dengan sikat gigi adalah sunnah Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, karena siwak berbeda dengan sikat gigi. Siwak memiliki banyak kelebihan dibandingkan sikat gigi. Namun pendapat yang benar bahwasanya jika tidak terdapat akar atau dahan pohon untuk bersiwak maka boleh kita bersiwak dengan menggunakan sikat gigi biasa karena illah (sebab) disyariatkannya siwak adalah untuk membersihkan gigi. Bahkan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam pernah besiwak dengan jarinya ketika berwudhu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ali bahwasanya Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, yang artinya: ”Beliau memasukkan jarinya (ke dalam mulutnya-pent) ketika berwudlu dan menggerak-gerakkannya” (Hr: Ahmad dalam musnadnya 1/158. Berkata Al-Hafizh dalam talkhis 1/70 setelah beliau membawakan hadits-hadits tentang siwak dengan jari yaitu dari hadits Anas dan Aisyah dan selain keduanya: ”Dan hadits yang paling shohih tentang siwak dengan jari adalah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari hadits Ali bin Abi Tolib”.) (Syarhul mumti’ 1/118-119)

Dan bersiwak dengan menggunakan akar atau dahan pohon adalah lebih baik dan lebih mengikuti sunnah Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam karena memiliki faedah yang banyak dan bisa digunakan setiap saat serta bisa dibawa kemana-mana. Namun anehnya banyak kaum muslimin yang merasa tidak senang jika melihat orang yang bersiwak dengan akar atau dahan pohon, padahal tidak diragukan lagi akan kesunnahannya. Mereka memandang orang yang bersiwak dengan akar kayu dengan pandangan sinis atau pandangan mengejek. Apakah mereka membenci sunnah yang sering dilakukan dan dicintai oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam bahkan ketika akhir hayat beliau?

Sebagaimana sabda Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam, yang artinya: “Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhoan bagi Rob”. (HR: Ahmad, irwaul golil no 66 [shohih]). (Syarhul mumti’ 1/120 dan taisir ‘alam 1/62)

Oleh karena itu Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam begitu bersemangat melakukannya dan sangat ingin agar umatnya pun melakukan sebagaimana yang dia lakukan, hingga beliau bersabda, yang artinya: “Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu”. (HR: Bukhori dan Muslim, irwaul golil no 70)

Dan yang artinya: “Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan sholat”. (HR: Bukhori dan Muslim, irwaul golil no 70)

Ibnu Daqiqil ‘Ied menjelaskan sebab sangat dianjurkannya bersiwak ketika akan sholat, beliau berkata: “Rahasianya yaitu bahwasanya kita diperintahkan agar dalam setiap keadaan ketika bertaqorrub kepada Alloh, kita senantiasa dalam keadaan yang sempurna dan dalam keadaan bersih untuk menampakkan mulianya ibadah”. Dikatakan bahwa perkara ini (bersiwak ketika akan sholat) berhubungan dengan malaikat karena mereka terganggu dengan bau yang tidak enak. Berkata Imam As-Shon’ani : “Dan tidaklah jauh (jika dikatakan) bahwasanya rahasianya adalah digabungkannya dua perkara yang telah disebutkan (di atas) sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir, yang artinya: “Barang siapa yang makan bawang putih atau bawang merah atau bawang bakung maka janganlah dia mendekati mesjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu dengan apa-apa yang bani Adam tergaanggu dengannya” (Taisir ‘alam 1/63)

Dan ternyata Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak hanya bersiwak ketika akan sholat saja, bahkan beliau juga bersiwak dalam berbagai keadaan. Diantaranya ketika dia masuk kedalam rumah… Telah meriwayatkan Syuraih bin Hani, beliau berkata, yang artinya: ”Aku bertanya kepada ‘Aisyah: “Apa yang dilakukan pertama kali oleh Rosululloh jika dia memasuki rumahnya?” Beliau menjawab :”Bersiwak”. (HR: Muslim, irwaul golil no 72)

Atau ketika bangun malam…

Dari Hudzaifah ibnul Yaman, dia berkata, yang artinya: “Adalah Rosululloh jika bangun dari malam dia mencuci dan menggosok mulutnya dengan siwak”. (HR: Bukhori)

Bahkan dalam setiap keadaan pun boleh bagi kita untuk bersiwak. Sesuai dengan hadits di atas. Dalam hadits ini Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam memutlakkannya dan tidak mengkhususkannya pada waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu siwak boleh dilakukan setiap waktu (Syarhul mumti’ 1/120, fiqhul islami wa adillatuhu 1/300), sehingga tidak disyaratkan hanya bersiwak ketika mulut dalam keadaan kotor (Syarhul mumti’ 1/125).

Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam sangat bersemangat ketika bersiwak, sehingga sampai keluar bunyi dari mulut beliau seakan-akan beliau muntah. Dari Abu Musa Al-Asy’ari berkata, yang artinya: “Aku mendatangi Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan dia sedang bersiwak dengan siwak yang basah. Dan ujung siwak pada lidahnya dan dia sambil berkata “Uh- uh”. Dan siwak berada pada mulutnya seakan-akan beliau muntah“. (HR: Bukhori dan Muslim)

Dan yang lebih menunjukan akan besarnya perhatian beliau dengan siwak yaitu bahwasanya diakhir hayat beliau, beliau masih menyempatkan diri untuk bersiwak sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah, yang artinya: Dari ‘Aisyah berkata: Abdurrohman bin Abu Bakar As-Sidik y menemui Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersandar di dadaku. Abdurrohman y membawa siwak yang basah yang dia gunakan untuk bersiwak. Dan Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam memandang siwak tersebut (dengan pandangan yang lama). Maka aku pun lalu mengambil siwak itu dan menggigitnya (untuk dibersihkan-pent) lalu aku membaguskannya kemudian aku berikan siwak tersebut kepada Rosululloh, maka beliaupun bersiwak dengannya. Dan tidaklah pernah aku melihat Rosululloh bersiwak yang lebih baik dari itu. Dan setelah Rosululloh selesai dari bersiwak dia pun mengangkat tangannya atau jarinya lalu berkata :

فِي الرَّفِيْقِ الأَعْلَى

Beliau mengatakannya tiga kali. Kemudian beliau wafat.

Dalam riwayat lain ‘Aisyah berkata, yang artinya: “Aku melihat Rosululloh memandang siwak tersebut, maka akupun tahu bahwa beliau menyukainya, lalu aku berkata: ‘Aku ambilkan siwak tersebut untuk engkau?” Maka Rosululloh mengisyaratkan dengan kepalanya (mengangguk-pent) yaitu tanda setuju.“ (HR: Bukhori dan Muslim)

Oleh karena itu berkata sebagian ulama: “Telah sepakat para ulama bahwasanya bersiwak adalah sunnah muakkadah karena anjuran Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan kesenantiasaan beliau melakukannya dan kecintaan beliau serta ajakan beliau kepada siwak tersebut.” (fiqhul islami wa adillatuhu 1/300).

Bahkan, sebuah penelitian membandingkan siwak dengan pasta gigi. Hasilnya, siwak lebih bersih dibanding pasta gigi. Selain itu, menurut penelitian tersebut siwak juga berfungsi untuk menghilangkan efek kecanduan bagi perokok aktif.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons