Jumat, 13 Januari 2012

KEKEJAMAN FIR’AUN


Siapa yang tidak kenal Fir’aun. Seorang raja terkuat dan terbesar kekuasaannya di Mesir pada era Nabi Musa dan Nabi Harun. Dia adalah raja diktator, kejam, dan sangat takabbur, hingga mengatasnamakan dirinya sebagai Tuhan yang Paling Tinggi. Artinya disamping raja, dia juga mengaku sebagai Tuhan yang harus disembah oleh rakyatnya berikut perintah-perintahnya. Oleh karena itu, jika ada rakyat yang tidak patuh terhadap Fir’aun, maka akan diberi hukuman yang sadis dan bahkan bisa menghabisi nyawa rakyat yang dianggap menentangnya.
Suatu saat Fir’aun bermimpi melihat sebuah pohon besar yang kokoh dan sangat rimbun daunnya seperti pohon beringin. Tiba-tiba pohon tersebut kering dan mati yang diakibatkan oleh suatu tanaman sejenis sirih yang merambat di pohon tersebut. Seketika itu pula, ketika dia bangun, sang raja terus memikirkan hal itu dan mencoba menanyakan kepada seorang juru ramal kerajaan untuk menjelaskan makna dari mimpi tersebut.
Oleh seorang juru ramal tersebut memperingatkan kepada sang raja untuk ekstra waspada terhadap kerajaannya karena dalam mimpi tersebut menjelaskan bahwa dalam waktu dekat akan lahir bayi dari rakyat biasa dan lemah yang kelak akan menumbangkan kekuasaan Fir’aun. Seketika itu pula, Fir’aun merasa panik setelah mendengar perkataan juru ramal tersebut dan mengumpulkan para pasukannya untuk mengadakan operasi mendadak kepada para ibu yang telah melahirkan anak. Jika bayi yang dilahirkan perempuan, maka dibiarkan. Sebaliknya, jika bayi yang dilahirkan laki-laki akan dikumpulkan menjadi satu dan di bawa ke istana kerajaan. Sejumlah bayi yang masih suci tersebut lalu disembelih satu persatu dengan sangat sadis, sehingga darah segar para bayi itu mengalir deras ke laut merah.
Fir’aun membantai bayi laki-laki tak berdosa tersebut bukan karena tidak sayang pada bayi, juga bukan karena faktor kesalahan si bayi, namun karena takut kehilangan jabatan dan kedudukan empuk yang amat dicintainya. Walaupun, tidak semua bayi tersebut kelak akan menjadi musuh bagi sang raja, namun tetap dibunuh secara massal agar tidak ada satu pun bayi yang bisa menggeser kedudukannya.
Tapi, apapun usaha Fir’aun untuk mempertahankan kekuasaannya, tetap saja akhirnya dia tumbang dengan cara mengenaskan. Dia bersama bala tentara yang sangat dibanggakannya tenggelam di laut merah (laut yang pernah dia jadikan tempat pembantaian bayi-bayi suci).
Apakah generasi Fir’aun masih ada di zaman sekarang? Generasi yang sama persis dengan Fir’aun memang tidak ada. Namun, yang mirip dengan cara-cara Fir’aun dalam mempertahankan jabatan dan kekuasaan cukup banyak jumlahnya. Membunuh secara fisik memang jarang dilakukan, tapi membunuh karakter dengan menyingkirkan kelompok yang berbeda pendapat sering dijumpai di kehidupan kita seperti di kalangan politisi, birokrasi, pengusaha, dan bahkan merambah di kalangan organisasi bernafaskan islam. Musyawarah yang merupakan cara terbaik dalam Islam untuk menyelesaikan berbagai persoalan, kini berganti dengan lobby ala partai penguasa, voting, dan lain-lain seperti dalam firman Allah sebagai berikut.



“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159)

Semoga apa yang kita lakukan, seperti dalam kehidupan sehari-hari baik dalam berorganisasi, ataupun kepentingan-kepentingan yang lainnya selalu kita sertai dengan pola perilaku yang sudah dicontohkan oleh Nabi kita Rasulullah Muhammad SAW dengan menghilangkan pola perilaku yang menyimpang atau yang condong ke arah sifat-sifat yang dimiliki Fir’aun.

Oleh :  Drs. H. Syamsun Aly, M.A.
Editor : Syamsi

Minggu, 08 Januari 2012

TAQWA DAN PRODUKTIVITAS KERJA



Taqwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara. Yang artinya orang bertaqwa harus komitmen untuk senantiasa memelihara prestasi ibadah dan amal shalehnya serta terus meningkatkan produktivitas kerja sebagai bentuk jihad guna meraih kemuliaan hidup. Sebagaimana dalam firman Allah, yaitu:



“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)

Bekerja dalam perspektif agama Islam, bernilai ibadah sekaligus penuh kemuliaan, sebagai benttuk karya amal shalehnya, karena para pekerja itu telah melakukan aktivitas terbaiknya untuk kesuksesan dan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Islam sangat menghargai atas mereka yang mampu bekerja secara maksimal dalam rangka susksesnya percepatan perubahan.
Jika hidup tanpa kerja maka akan susah dan menderita, sehingga ketika ada kemampuan dan kesempatan untuk bekerja akan dilakukan secara baik dan tidak akan dirusaknya karena berarti akan menggali lubang untuk kuburnya sendiri. Maka orang bertaqwa ketika bekerja terus terobsesi dengan kesuksesan dan kemenangan. Produktivitas kerja kita sejatinya didorong oleh seberapa besarnya iman dan taqwa kita yang selama ini selalu kita tanamkan secara kuat dan dikembangkan untuk kebaikan kehidupan, sehingga apa yang dilakukan selalu yang terbaik dan bukan kesia-siaan, karena memang kerja bagi orang yang bertaqwa sebagai media untuk kesempurnaan ibadah dan mengaktualisasikan nilai-nilai iman dan taqwa dalam budaya kerja. Upaya untuk mendorong produktivitas kerja bagi orang bertaqwa yaitu:
  1. Bekerja dengan ihsan yang artinya sebaik mungkin.
  2. Bekerja secara terampil dan penuh keahlian karena memang professional dalam bidangnya.
  3. Bekerja sesuai prosedur untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
  4. Bekerja dengan teamwork yang bagus dan kondusif serta selalu mengembangkan jaringan yang lebih luas.
Produktivitas kerja bagi orang yang bertaqwa adalah bagian dari ibadah, maka bekerja yang terbaik merupakan prinsip hidupnya serta jauh dari sifat-sifat tercela. Semoga kita bisa bekerja dengan penuh amanah untuk meraih bahagia yang sempurna, sebagai amal sholeh dengan prestasi mulia. Mari bekerja dengan yang terbaik sebagai kesadaran dan itulah kemuliaan.

Oleh : Drs. Andi Hariyadi, M.Pd.I.
Editor : Syamsi

KEJUJURAN atau KEBOHONGAN

Rasulullah SAW dalam mengemban tugas dakwah Islam di masyarakat, telah dibekali 4 sifat luar biasa pengaruhnya guna mewujudkan perubahan pada kebaikan ketika berbagai bentuk keserakahan, kesewenangan dan kebohongan begitu kuat mendominasi kehidupan jahiliyah.
Namun, Rasulullah mampu konsisten dengan empat sifatnya, yaitu:
  • Shiddiq, benar perkataan dan perbuatan, apa yang diucapkan dan dilakukan adalah sama, bukanlah ketidakjujuran atau kebohongan apa yang dilakukannya. 
  • Amanah, terpercaya atau dapat dipercaya, bukanlah pengkhianat yang lalai dari amanat. 
  • Fathonah, cerdas, tidaklah mungkin Nabi Muhammad SAW itu bodoh yang tidak mengerti apa-apa. 
  • Tabligh, menyampaikan wahyu, tidak ada yang disembunyikan apa yang disampaikan.
Semuanya dilakukan untuk mengajak pada kebenaran karena saat itu sudah tidak ada bedanya antara yang haq dan yang bathil, justru para elite menjadi pelopor mengkampanyekan kebathilan secara brutal dan liar. Keberadaan Rasulullah Muhammad SAW yang berada di tengah pusaran kejahiliyaan tentunya mendapat perlakuan yang kasar, keras, dan kejam, sehingga ayat di bawah ini menjadi penenang dan harapan untuk terus termotivasi melakukan kebenaran.



“Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar".” (QS. Al Maidah: 119)

Saat ini seringkali kita saksikan berbagai benturan antara kepentingan menegakkan kejujuran atau memenangkan kebohongan, maka sebagai manusia yang telah diberikan kebebasan untuk memilih bukan berarti bebas memilih tanpa petunjuk wahyu-Nya, karena melalui petunjuk wahyu-Nya itulah kita akan menjadi pribadi yang sadar akan tugas kemuliaan, sedang jika kita berpaling dari petunjuk wahyu-Nya berarti kita berada dalam kehinaan yang sehina-hinanya, karena berbagai potensi dirinya ditelantarkan dan lebih mementingkan nafsunya.
Kejujuran dan kebohongan adalah dua sifat manusia yang sangat bertolak belakang sehingga implikasi dari perbuatan tersebut juga berbeda. Kejujuran membawa kebahagiaan yang sesungguhnya karena memang selalu berorientasi pada kebenaran yang senantiasa diperjuangkan untuk dimenangkan meski banyak tantangan. Sedangkan, kebohongan membawa kebahagiaan yang semu dan rapuh karena memang orientasi hidupnya untuk kesalahan meski direkayasa sehingga dianggap benar, maka kegelisahanlah yang menghantuinya karena hidupnya telah menciderai nilai-nilai kemanusiaan.
Dan saat inipun kejahiliyaan itu berkibar kembali untuk merusak tatanan guna menjungkirbalikkan tata nilai dan kemanusiaan melalui tindakan ketidakjujuran yang terus dibanggakan. Apa jadinya kehidupan ini jika kebohongan dijadikan pijakan dan kebajikan, tentunya akan menghancurkan kehidupan itu sendiri, maka sungguh berbahagialah mereka yang konsisten memperjuangkan kejujuran sebagai pilihan hidupnya untuk meraih kebahagiaan, kemenangan, dan kemuliaan. Singkirkan kebohongan karena berakibat menghancurkan kemuliaan, dan perjuangkan kejujuran itu karena termasuk kemuliaan yang dapat meraih kemenangan.
 
Oleh : Drs. Andi Hariyadi, M.Pd.I.
Editor : Syamsi

Kerjasama Membangun Dakwah Siyasi

Bagaimana pola kerjasama yang bisa dilakukan dalam dakwah siyasi di kampus ?
Dalam dakwah siyasi kampus, kita akan banyak menemui berbagai kesempatan dan tantangan dalam bekerjasama, kolaborasi dan berbagai bentuk simbiosis lainnya. Perlu diingat bahwa perubahan tidak akan terwujud hanya bila satu lembaga atau kelompok yang berjuang, diperlukan adanya harmonisasi gerak diantara berbagai potensi kebaikan yang ada dikampus. Dan kita sebagai kader siyasi juga perlu menyiapkan diri dalam sebuah era dakwah berbasis kerjasama, koalisi, kolaborasi atau sering dikenal dengan istilah musyarokah.
Bila kita melihat peta-sosial di kampus, maka kita harus jujur juga mengakui bahwa banyak sekali kelompok-kelompok pemikir, penggerak dan juga memiliki keinginan untuk menyebar nilainya. Sebutlah ada kelompok yang berlatar belakang pemikiran sosialis, liberal, Islam, atheis, dan dalam kelompok ini seringkali juga ada sub kelompok tertentu yang memiliki kekhasan masing-masing. Setiap kampus akan berbeda karakternya, dan tentu juga akan berdampak pada perbedaan dalam jumlah kelompok yang “bersaing” di kampus.
Seperti halnya perpolitikan di Indonesia, setiap kelompok ini tentu ingin “berkuasa”, dan dalam hukum politik maka tidak ada teman dan lawan, yang ada adalah kepentingan bersama. Kondisi seperti sangat wajar terjadi, dan memberikan kesempatan untuk beberapa kelompok bersinergi dalam upaya mewujudkan mimpi bersama. Tentu dalam sinergi ini akan ada negosiasi, kompromi hingga barter kepentingan. Dan –lagi-lagi- ini adalah proses yang terjadi, namun menurut hemat saya, sebagai bagian dari kelompok dakwah, saya sangat tidak menyarankan untuk terlalu pragmatis apalagi menjual “idealisme” demi kekuasaan.
Kerjasama yang dibangun dengan kelompok lain adalah dalam upaya mengembangkan dakwah itu sendiri. Artinya jangan sampai kita melakukan kerjasama hanya untuk kepentingan sesaat, perlu adanya sebuah perencanaan akan prospek dakwah yang dapat dilakukan dalam kerjasama yang dibangun. Sebutlah dengan bekerjasama dengan kelompok “kiri”, kita jadi bisa banyak mendapatkan masukan akan kajian mereka yang cenderung dekat dengan sosialis. Hal ini dapat menambah khazanah pemikiran kita. Lebih lanjut, bila ternyata pendekatan kita lebih baik, maka tentu terbuka kemungkinan agar kita bisa mendakwahi mereka dan nantinya dapat menjadi bagian dari barisan dakwah itu sendiri.
Kerjasama dalam skema pengembangan dakwah menjadi tidak terelakkan, selagi masih ada kelompok lain dalam sebuah medan dakwah, kesempatan untuk bekerjasama menjadi sebuah kebutuhan. Setidaknya ada 3 bentuk kerjasama yang dapat dilakukan oleh gerakan siyasi kampus dengan elemen lain, yakni :
  1. Kerjasama Permanen, pola kerjasama ini bersifat permanen untuk jangka waktu yang ditentukan. Dengan kerjasama yang bersifat permanen ini diharapkan dapat terjalin sebuah koalisi yang saling menguntungkan. Pola kerjasama permanen atau koalisi ini memberikan kesempatan bagi gerakan dakwah siyasi untuk melebur dengan kelompok lain.
Namun demikian, perlu adanya “deal” yang jelas sebelum menjalankan koalisi permanen seperti pembagian peran, pembagian sumber daya, pola koordinasi dan komunikasi, skema komando dan tata etika dalam bekerja sama. Pola kerjasama permanen ini bisa dijalankan dalam proses menjalankan roda organisasi selama satu kepengurusan.
Ada empat syarat agar kerjasama permanen dapat dilakukan, yakni :
  1. Harmonisasi Visi antara kelompok
  2. Adanya keinginan untuk berbagi sumber daya
  3. Kemauan untuk dipimpin dan memimpin
  4. Adanya code of conduct dalam MoU kerjasama agar koalisi dapat berjalan dengan lancar
  1. Kerjasama Taktis, kerjasama ini bersifat sementara atau kontemporer. Biasanya kerjasama taktis dilakukan untuk mengusung isu tertentu seperti aksi turun kejalan akan sebuah tema tertentu. Pola-pola kerjasama taktis dapat dilakukan bila terdapat benturan ideologi antara kelompok-kelompok yang akan bekerjasama. Untuk itu diperlukan sebuah pola kerjasama yang bersifat tidak mengikat. Pola kerjasama dapat dilakukan dengan  tiga syarat, yakni :
    1. Kesamaan tujuan jangka pendek bersama
    2. Adanya kesepakatan untuk memulai dan mengakhiri gerakan dengan utuh dan bersama
    3. Adanya etika kerjasama yang dipatuhi
Salah satu caatan yang seringkali ditemui sebagai kendala bagi gerakan siyasi kampus dalam membangun gerakan adalah kemampuan para kader itu sendiri dalam membuka diri dan mau menyatu dengan kelompok lain. Di sisi lain, cukup banyak kader dakwah terlalu “lugu” dengan kondisi pergolakan dan dinamisasi yang terjadi di dakwah siyasi. Hal ini membuat gerakan siyasi tak ubahlah hanya ibarat LDK yang dipindahkan ke BEM. Hasilnya tentu hanya sekedar menjadi kelompok aktivis dakwah yang pindah sekretariat, tetapi jiwa mereka masih terkukung dalam semangat eksklusifitas.
Keberhasilan dalam dakwah siyasi, salah satunya dapat dilihat dari sejauh mana kader dakwah mampu mengembangkan jaringannya dan mengkapitalisasi jaringannya untuk kebutuhan perwujudan mimpi dakwah yang mulia. Kerjasam dan ekspansi adalah sebuah keniscayaan yang tak mungkin terelakkan, sehingga menjadi sebuah tantangan bagi kader dakwah siyasi untuk dapat selalu melakukan kerjasama demi kerjasama dengan sebanyak mungkin lembaga atau elemen baru.
Bila melihat kembali sejarah Islam di berbagai fase pemerintahan Islam di masa lalu, diplomasi, kerjasama, dan ekspansi menjadi bagian dari gerakan pengembangan Islam. Seperti halnya ketika Rasul melakukan kerjasama perjanjian hudaibiyah yang menurut banyak sahabat justru merupakan langkah yang tidak menguntungkan bagi Islam. Namun, ternyata itu merupakan sebuah strategi dakwah yang sangat hebat. Akhirnya melalui perjanjian tersebut, umat Islam telah melakukan sebuah revolusi putih dalam penaklukan penguasaan kembali Mekkah.
Strategi dan rekayasa dalam kerjasama perlu direncanakan dengan sistematis dan terukur. Artinya kerjasama yang dilakukan dengan pihak tertentu adalah bagian dari strategi jangka panjang dakwah siyasi di sebuah kampus. Kerjasama juga merupakan sebuah strategi yang dapat digunakan untuk gerakan dakwah yang masih mula. Mereka dapat “menumpang” dahulu ke gerbong yang sudah lebih kuat meski dari kelompok lain, sembari belajar berpolitik dan menguatkan basis masa, atau dalam bahasa sosiologi disebut dengan infiltrasi.
Pada akhirnya, ada 3 kunci utama agar kerjasama dalam politik kampus ini dapat berjalan dengan baik, yakni : (1) karakter kader yang terbuka; (2) skema kerjasama politik yang komprehensif; dan (3) terjaganya integritas dan idealisme para kader yang berpolitik.
by:rya

Minggu, 01 Januari 2012

GERAK SEBAGAI ESENSI HIJRAH

Tak terasa kalender Islam telah memasuki 1433 H. Keberadaan tahun hijriah tersebut tak lepas dari aspek historis yang seringkali dikaitkan dengan peristiwa hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ke Yastrib (Madinah). Dalam catatan sejarah, khalifah Umar bin Khattab memiliki peranan penting dalam penetapan tahun hijriah melalui musyawarah dengan sahabat yang lain. Pemilihan momentum hijriah Rasulullah SAW oleh beberapa sahabat sebagai awal tahun bukanlah sembarang pilihan, melainkan kaya akan makna. Hijrah yang identik dengan usaha untuk selalu memilih dan bergerak sebagai bagian dari dinamika kehidupan. Tidak heran jika Allah SWT memberikan derajat yang tinggi bagi mereka yang beriman dan berhijrah di jalan-Nya baik dengan harta maupun jiwa sesuai firman Allah dalam Surat At-Taubah ayat 20, yaitu:




“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”

Peristiwa hijrah sangat layak dijadikan pijakan dalam penentuan awal tahun Islam mengingat memang memiliki banyak nilai filosofis, disamping sebagai starting point (awal kebangkitan) menuju ke kebenaran yang hakiki. Selain itu, peristiwa hijrah juga memiliki nilai-nilai perjuangan yakni menjadi umat yang dinamis.
Peristiwa hijrah juga mengisyaratkan bahwa hidup haruslah dinamis menuju perbaikan bukannya stagnan atau malah turun. Sebagaimana yang tertera dalam rukun islam yaitu:
1.    Syahadat, merupakan gerak dari keyakinan yang tidak bertuhan atau banyak Tuhan menuju keyakinan satu Tuhan (Tauhid) yaitu Allah.
2.      Shalat, merupakan aktifitas ibadah yang banyak mengandung unsur gerak baik tubuh, lisan dan juga hati.
3.    Zakat, menuntut kita agar menggerakkan harta yang kita miliki untuk dapat dibelanjakan di jalan Allah (sedekah).
4.      Puasa, menggerakkan tubuh kita agar menjadi insan yang bertaqwa dengan menahan diri kita dari hal-hal yang membatalkannya.
5.      Haji, merupakan totalitas dari semua gerak yang ada, tidak hanya keyakinan, lisan, hati, fisik, namun juga harta.

           Momentum tahun baru baru Hijriah 1433 H ini hendaknya menjadi pijakan kita untuk menjadi pribadi yang dinamis. Pribadi yang selalu ber “fastabiqu al-khairat” yakni berlomba-lomba dalam kebaikan, serta selalu mempersembahkan amal yang terbaik. Dengan demikian insya Allah akan menjadi pribadi yang produktif dan memiliki progresifitas (kemajuan), sehingga mendapatkan keberuntungan berupa derajat yang tinggi di sisi Allah SWT seperti pada surat di atas tadi.
Oleh : Alif Jatmiko
Editor : Syamsi 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons